Berbagai persiapan dilakukan, salah satunya memberi pupuk, alias ngrabok. Rabok, rabuk, pupuk. Ngrabok berarti melakukan proses memberi pupuk pada tanah yang akan digarap. Agar gembur, subur, dan menjadi tempat tumbuhnya tanaman pertanian yang mentes dan migunani.
Siang itu, Kang Suto, dibantu Kang Dhadap, Waru, Lek Guno dan lainnya bersiap ngrabuk. Begitulah, mereka guyub rukun, sambatan, mengerjakan, ngentengke sambate liyan secara bersama-sama.
Rabuk yang digunakan berasal dari kotoran sapi atau kambing peliharaan. Alami. Kotoran ini sebelumnya disingkirkan ke jugangan, ditunggu berapa lama agar kering. Setelah kering, kemudian dimasukkan dalam bagor atau goni. Setelah penuh, bagor atau goni ditali agar rabuk tidak tumpah. Proses berikutnya yaitu membawanya ke sawah atau ladang.
Proses membawa rabuk ke ladang inilah, yang dulu menjadi kegiatan favorit anak-anak. Pada saat itulah, anak-anak bisa numpak mobil bareng-bareng ke ladang. Mobilnya khusus, mobil bak terbuka yang biasanya dipakai mengangkut barang dagangan pasar. Sambil membawa sangu: teh panas, nasi thiwul, puli goreng, dan sayur lombok ijo.
Jaman sekarang memang hanya sederhana: numpak mobil, yang bisa dilakukan setiap hari. Namun dahulu, numpak mobil merupakan hal istimewa dan mahal. Tidak setiap hari, minggu, atau bulan. Kadang kala, ada yang rela mbolos sekolah untuk membantu orang tuanya ngrabuk ke ladang. Bukan hanya membantunya yang penting, namun, numpak mobilnya itulah yang penting bagi anak-anak jaman itu. Numpak mobil, menyusuri jalan pedesaan, serasa menjadi gagah. Apalagi dengan memakai pelindung ikat kepala, menyapa teman atau siapapun yang dikenal di sepanjang jalan.
"Ngrabok nyangndi, Kang?", tanya Paidin. "Nyang Kretek, Lek", Paidin terus menjawab pertanyaan yang hampir sama diserukan di sepanjang jalan.
Sesampaikan di ladang, bungkusan rabuk diturunkan dari mobil. Satu per satu disunggi ke ladang, yang biasanya berjarak beberapa ratus meter dari berhentinya mobil. Rabuk ditumpahkan di ladang, kemudian diratakan.