Hari itu Ngad Legi (17/12) diumumkan bahwa kerja bakti menyelesaikan
lapangan di depan balai dusun akan dilaksanakan. “Minggu kerja bakti, lur. Persiapan untuk wayang tanggal 30”,
demikian informasi itu masuk di grup obrolan kampung. Hari Minggu warga pun
berdatangan, bagi yang memiliki alat tentunya membawa alat yang dibutuhkan.
Molen, demikian alat itu populer disebut, merupakan alat
pencampur semen dan pasir untuk kepentingan bangunan,
menjadi alat utama pada proses kerja bakti pagi itu. Pasir, semen dan air
dimasukkan di dalamnya, dengan takaran tertentu. Molen pun memutar tangki yang
berbentuk mirip jajan pasar molen. Mungkin, memang demikian ceritanya, karena
mirip jajanan molen hingga orang kampung memberi nama alat tersebut “molen”.
“Takerane siji
sepuluh, Lur”, dalam bahasa Jawa, Kang Suto memberi komando. “Takarannya satu semen banding sepuluh pasir”,
demikian kurang lebihnya. Tentunya dengan campuran kroco atau batu gandik
yang sudah dipecah kecil-kecil. Ember berisi pasir, dan kroco pun mulai diangkat oleh warga secara bergantian masuk ke
mulut molen ditambahi semen dan air secukupnya. Molen berputar, mengaduk,
mencampur bahan di dalamnya agar ulet. Setelah
dirasa cukup, ditampung dalam ember untuk kemudian diratakan di lapangan di
depan balai dusun.
Lapangan itu memang bukan lapangan baru, namun sejak balai
dusun diperbaiki, direhab, maka lapangan itu ikut terkena imbas, rusak,
sehingga harus ada perbaikan. Atau harus dibuat lebih baik, agar lebih seimbang
dengan bangunan balai yang sudah tampak megah itu. Selain itu, pekan depan akan
digunakan untuk menggelar hiburan kesenian tradisional bagi warga kampung.
Wayang Cakruk, demikian kabarnya yang akan mengisi malan tahun baru itu.
Untuk itu, warga perlu kerja bakti.
Kerja bakti ini merupakan kegiatan rutin seperti pada
umumnya digelar di kampung-kampung. Cukup dengan pengumuman menggunakan horen, atau melalui para ketua RT, atau
lewat obrolan malam ketika ronda, maka hajat kerja bakti akan mudah didengar
oleh warga kampung. Pada hari yang ditentukan warga akan berdatangan
menghadiri.
Para ibu, biasanya tanpa dikomando secara njlimet sudah tanggap. Mereka akan
menyiapkan wedang dan pacitan untuk para Bapak yang ikut kerja
bakti. Biasanya berwujud teh panas, serta jajanan pasar, ada pula yang dibuat
sendiri semacam telo goreng, kacang goreng, legender, puli, telo godok dan semacamnya. Semuanya bisa
diperoleh dari ladang di samping rumah mereka, untuk polo kependhem hanya
perlu sedikit energi untuk mbedol,
dan kemudian memasaknya. Itulah kontribusi para ibu dalam proses kerja bakti, walaupun
ada pula ibu-ibu yang ikut kerja bakti.
Ya, kerja bakti bukan monopoli kaum bapak.
###
Kira-kira pukul 9.30, akan ada komando untuk istirahat, wedangan atau sumene. Komando biasanya
disampaikan si pembuat minum, langsung kepada warga atau disampaikan pada yang
dituakan, Pak Dukuh misalnya. Pembuat minum biasanya ibu-ibu, atau bisa juga
bapak-bapak yang sudah sepuh dan kurang pas jika ikut kerja fisik berat. Mereka
biasanya tetap ikut kerja bakti, sak kecekele. Kemudian Pak Dukuh pun akan
menyampaikan informasi wedang yang sudah siap itu kepada peserta kerja bakti.
“Kendhel rumiyin,
monggo sami ngunjuk”, pengumuman itu menggema, memecah obrolan warga yang
kerja bakti. “Istirahat dulu, mari minum
dulu”, demikian kira-kira arti ajakan itu. Warga pun kemudian menuju tempat
disiapkannya minuman dan pacitan,
mengambil gelas yang sudah berisi teh panas, serta tak lupa menyambar sepotong pacitan untuk teman minum. Warga yang membawa udud, langsung dibuka. Yang sepuh, biasanya bawa selpen, yaitu bungkusan plastik yang isinya tembakau, segaret (kertas pembungkus rokok), klembak, uwur, kadang ada menyan ududan. Mereka nglinting udud sendiri.Pada proses
ini, kadang ada warga yang agak ngeyel
ndak mau istirahat minum. Sebenarnya bukan karena tidak mau, tapi mungkin ada
pekerjaan nanggung yang harus
diselesaikan. Atau ada pula yang rikuh, mungkin datang terlambat sehingga
merasa kurang elok jika belum banyak berbuat, sudah mau istirahat ikut minum.
Suto: "selpene dibukak, Yo"
Noyo: "gilo, mbakoku enak iki. Lagi tuku nang pasar wingi je. Titip Yu Paijem"
Setelah dirasa cukup, salah satu akan memulai lagi, dan yang
lainnya akan mengikuti. Meskipun demikian, minuman biasanya tetap disiapkan
bagi warga yang merasa haus ketika proses kerja bakti.
###
Menjelang siang, pengerasan lapangan itu selesai. Campuran
bahan telah rata, tinggal menunggu keras, untuk kemudian digunakan sebagai
tempat beraktivitas warga.
Kerja bakti itu memberi bukti, bahwa kerukunan mereka
miliki, guyub selalu mereka pupuk. Riak-riak kecil mereka telateni untuk
diselesaikan dengan baik dan bijak. Karena mereka tahu, bahwa kerukunan dan
kedamaian adalah lebih utama.
Kabeh iso dirampungke yen disonggo bareng-bareng. Semoga aman, damai, dan bahagia di Karang Kadempel.
Sambisari, 21 Desember 2017
Pukul 20.00
--------
Sumber gambar: foto dari grup WA Ngliparkidul
Tidak ada komentar:
Posting Komentar