Blog ini, didedikasikan untuk merawat sejarah Ngliparkidul, namun dengan tetap memandang ke depan. Agar generasi Ngliparkidul memiliki masa depan yang lebih cerah dan terarah, namun tak tercerabut dari sejarah yang telah membentuknya.

ccc

Bencana Banjir: Doa Kyai Semar dan ujian pada warga Ngliparkidul

"Oei, ayo nang kali. Golek cethul. Ojo lalu nggowo irik karo ember", teriak Peni sambil berjalan bergegas menuju arah sungai yang sedang banjir di sisi timur kampung. Sementara itu, Pithuk sibuk membawa genter sambil sesekali memukulkannya pada pepohonan. "Walang-walang....", teriak Pithuk. Anak-anak yang sedari tadi mengikuti di belakang langsung berhamburan berlari searah terbangnya belalang yang muncul dari pohon. Kaki-kaki kecil, tapi kokoh itu menerjang apa saja yang ada di depannya. Lumpur mengotori kaki, celana dan baju, karena sesekali mereka harus rela jatuh agar sukses menangkap belalang yang terbang. Di tangan, mereka menenteng seikat belalang yang sudah tertangkap

Ngliparkidul -- Hujan, merupakan teman bagi anak-anak kecil, khususnya lagi di pedesaan. Bersama-sama, ketika hujan mereka bermain di halaman, di jalanan, terkadang di sungai. Atau berlarian di sela-sela tanaman warga yang baru tumbuh di tegalan untuk mengejar belalang yang terbang, sebagai sumbangan lauk untuk keluarganya. Atau membawa ember dan irik, dan rela menerjang banjir untuk menangkap cethul, juga sebagai sumbangan lauk untuk keluarganya. Hujan merupakan sahabat, teman bagi anak-anak desa. 

Namun berbeda dengan hujan yang berlangsung beberapa hari itu. Hujan yang pada puncaknya, Selasa (28/11) membawa bencana yang dirasa paling besar sepanjang masa di Gunungkidul. Semua mengamini, bahwa hujan itu merupakan hujan terlebat dengan dampak terparah di Gunungkidul.

###

“Yen udan, mesakke wong Ngregis karo Cerbon”, demikian kata orang tua warga dusun Ngliparkidul. Ngregis dan Cerbon merupakan kampung kecil di tengah hutan, bersama kampung Ngliparkidul, ketiganya menjadi Dusun Ngliparkidul. Dua kampung itu menjadi RT sendiri yaitu RT 6/4, dan berjarak kurang lebih 1 km dari kampung Ngliparkidul. Letaknya yang berada di dekat tempuran (pertemuan dua sungai), membuatnya rawan banjir. Konon kabarnya, penduduknya, yang hanya ada beberapa rumah itu sudah ditawari pindah, namun sejarah dan kesuburan tanah agaknya membuat mereka tetap bertahan.

Tentang sejarah Ngregis dan Cerbon, semoga ada waktu lain untuk bercerita. Kali ini, saya hendak sampaikan sepenggal cerita tentang bencana yang baru saja dihadapi.

Setiap tahun penduduk Ngregis dan Cerbon sudah akrab dengan “siaga” banjir. Cerita kebanjiran dari dua kampung itu sudah menjadi cerita umum, turun temurun bagi warga Ngliparkidul. Namun banjir di Selasa (28/11) itu benar-benar yang paling besar. Bukan hanya untuk Ngregis dan Cerbon, namun untuk Gunungkidul. Daerah di dataran tinggi, yang bagi sebagian orang dianggap mustahil banjir.

“Yen Gunungkidul banjir, njuk piye Jogja?”, demikian komentar yang muncul.

Kejadian Selasa itu benar-benar membuktikan, bahwa alam dan Pembuat Alam tidak akan kekurangan cara untuk membuat sesuatu yang mustahil menjadi sangat mungkin.

#### 

“Laporan lur, ini kondisi Ngregis. Air naik sampai empyak rumah”, seorang warga yang sedang di lokasi melaporkan. “Alhamdulillah, bisa dievakuasi. Anak-anak, orang tua, dan jompo”, warga lainnya menimpali.

Foto sebuah rumah, yang hampir terendam banjir menghiasi grup komunikasi kampung. Sebuah rumah, milik Bu Warsini pada tengah hari kira-kira pukul 12.17 siang hampir terendam. Pandangan kosong si empunya rumah, seakan tidak percaya pada apa yang saat itu terjadi. Ternak sapi selamat, kecuali ayam yang tak bisa diselamatkan”, warga lain memberi informasi. Saya tidak bisa membayangkan, ketika ayam peliharaan itu hanyut terbawa banjir, bagaimana dengan harapan yang telah dipupuk warga terhadap ayam-ayam itu?  Mungkin, mereka berencana esok hari ketika datang hari pasaran, si ayam akan dibawa ke pasar, dijual untuk membeli beras, minyak, atau sepotong pakaian baru untuk anak cucunya. Atau, cadangan untuk makan besar ketika anak cucu mereka pulang. “Untung sapi-sapi bisa diselamatkan”, saya membatin.

“Butuh bantuan tenda, pakaian kering, makanan cepat saji”, laporan kembali masuk. “Wanita, anak-anak dan jompo aman, tidur di rumah penduduk terdekat, sementara bapak-bapak tidur di tenda sambil berjaga”, laporan lain menyusul seakan ingin memberitahukan bahwa suasana sudah agak terkondisikan. Di tengah hujan yang belum reda sepenuhnya, malam hari, ditambah listrik yang padam, tanpa pakaian kering, tentunya menghadirkan suasana yang mencekam. Aparat desa/dusun, berusaha mengondisikan, namun saya yakin di lapangan tidak sesederhana itu.

Menjelang petang, informasi meluapnya air di jembatan kali Oyo menjadikan tambahan horor tersendiri. Jembatan yang panjang, dan jarak dengan dasar sungai cukup dalam, namun bisa juga meluap, hingga kendaraan tidak bisa melintas. Kabarnya di sebelah barat kota Wonosari, jembatan Bunder juga meluap. Wonosari menjadi kota terisolir.

###

Beruntungnya kami telah memiliki Dukuh baru, yang dilantik pertengahan tahun lalu. Belum genap dua tahun, setelah sebelumnya kosong karena Pak Dukuh sebelumnya memasuki masa pensiun. Usia Pak Dukuh kami belum genap 40 tahun, yang tentunya masih terhitung muda, dan bebas dalam bergerak. “Ah, tentunya ini sebuah keberuntungan”, saya berfikir menyimpulkan.

Saya membayangkan Pak Dukuh dan warga Kampung Ngliparkidul sedemikian sibuk dan paniknya. Ya, Pak Dukuh Gito dihadapkan pada situasi yang saya yakin belum atau tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Jika sudah diperkirakan, ya hanya sebatas banjir sebagaimana biasanya.

Percakapan di grup Whatsapp kampung Ngliparkidul itu semakin ramai. Laporan A1 dari warga kampung berwujud kalimat ataupun gambar muncul silih berganti. Komentar, doa mengikutinya. Warga perantauan Ngliparkidul yang dikenal kuat dalam persaudaraan juga memberikan tanggapan, bahkan ada yang sudah berfikir apa yang bisa dilakukan pasca bencana itu.

“Perantauan iso mbantu opo, Lur?”, tanya si Suto. “Apa yang dibutuhkan pasca bencana, Lur”, Noyo menimpali.

Di dusun kami, ada beberapa warga yang mengabdi sebagai perangkat pemerintahan. Tentunya, pengalaman mereka menjadi nilai tersendiri dalam penanganan hal-hal terkait kemanusiaan dan kegotong-royongan dalam bencana ini. “Makanan siap saji, selimut, tenda, pakaian kering….”, kata Kang Dhadap, warga yang juga pegawai di kantor desa. Percakapan di grup jejaring sosial itu berlangsung sampai malam hari. Saya tidak tahu bagaimana warga melewatkan malam itu. 

Info terakhir jalan menuju Ngliparkidul dari Jogja tidak bisa dilewati, baik dari Sambipitu, maupun dari Wonosari. Jembatan Bunder dan Kali Oyo yang dalam dan luas itu tidak bisa dilewati.



Hingga Rabu pagi menjelang.


### 

melakukan pendataan
Rabu pagi (29/11) jalan menuju Wonosari sebagai ibukota kabupaten,  mulai bisa digunakan, meskipun lumpur di titik masuk kota masih mengganggu. Lumpur ini merupakan hasil dari banjir yang di berbagai jembatan sempat naik dan memutus jalur menuju Wonosari. Karena banyak yang terdampak banjir, Rabu itu sekolah-sekolah diliburkan.

Sejak Rabu, warga mulai bergerak membereskan sisa-sisa pasca banjir. Pak Dukuh Gito juga mulai identifikasi riil terkait dampak bencana tersebut. Rumah yang hanyut, terendam, rusak dan lainnya. Banjir yang terjadi pada Selasa (28/11) itu  mengakibatkan 4 rumah rusak parah dan 1  terbawa arus.

Hasil identifikasi tersebut kemudian menjadi dasar penanganan berikutnya. Tentu saja penanganan pertama merupakan penangan swadaya masyarakat. Warga berempati pada pemerintah, maklum, bahwa dengan begitu luasnya dampak banjir, pastinya pemerintah punya prioritas yang harus dilaksanakan. Maka, sehari kemudian, Kamis (30/11) Pak Dukuh mengumumkan kegiatan kerjabhakti bagi warga dusun.

“Poro wargo masyarakat ing dusun Ngliparkidul, wonten ing dinten Kemis, tanggal tigang ndoso November 2017 dipun suwun sak iyek sak ekoproyo, nindaki kerjabhakti wonten ing dusun Ngregis lan Cerbon. Wonten ing dalemipun sedherek-sedherek kulo panjenengan sami ingkang saweg pinaringan pacoban saking Gusti Allah. Kulo suwun ngasto gaman lan sangu awujud unjukkan piyambak-piyambak’, demikian kurang lebihnya.

Kalimat, yang pasti berat diucapkan Pak Dukuh muda itu di awal-awal masa bhaktinya. Tapi harus disampaikannya, sebagai wujud pengabdiannya sebagai yang dituakan di dusun.

Cancut taliwondho, bareng gotong royong
Kamis pagi, disaat orang kantoran di luar Gunungkidul mandi, berdandan rapi hendak berangkat ke kantor, atau mulai mengais rejeki, maka tidak untuk warga Ngliparkidul. Mereka mengangkat cangkul, sekop, sampil mengenakan seragam kebesaran mereka berupa kaos yang kadang sudah agak lusuh yang selama ini biasa digunakan untuk ke sawah. Tidak lupa, selembar kain untuk menyeka keringat, caping berbentuk kerucut, atau sekedar topi kain yang mungkin sudah sobek untuk sekedar menahan panas. Botol minuman yang bagian dalamnya agak coklat tanda sisa air teh tidak lupa di bawa, tentu saja sekaligus isinya.

Bersama-sama, pagi itu mereka ke Ngregis dan Cerbon. Harus hari itu!, tidak bisa ditunda meskipun hari berikutnya tanggal merah, hari libur. Bagi mereka, hari Kamis itu meskipun pada kalender tercetak hitam, mereka harus meliburkan diri, menyempatkan waktu untuk membantu saudaranya di Ngregis dan Cerbon. Ini tidak bisa digugat, tak bisa ditawar lagi.

### 

semua bekerja sama
Sekop mulai digerakkan, warga yang berjejer mulai bekerja memindahkan kayu atau apapun yang perlu disingkirkan. Rumah yang diterjang banjir itu, berangsur mulai rapi. Masih tampak pada tembok-tembok ada bekas air yang sempat merendamnya.

Mata penduduk Ngregis dan Cerbon berbinar, senang karena meski berjarak sekilo lebih, ternyata saudara mereka di kampung seberang masih mau membantu. Sekaligus berbinar karena menahan haru, sekaligus sisa-sisa rasa sedih.

Guyonan, obrolan khas wong ndeso mewarnai kegiatan kerjabhakti itu. “Sabar lur, ana pakune…”, seloroh warga ketika mau mengangkat kayu yang terkadang masih tertancap paku. Obrolan itu menjadi hiburan sampai berakhirnya kerjabhakti. E, yo mugo-mugi diparingi sabar, Yu…. seloroh Mbok  Waru memecah suara sekop yang beradu.

### 

Bhakti Sosial komunitas (FB Dwi Bendhol)
Hari berganti, siang-malam-siang datang lagi. Bantuan mulai berdatangan. Berbagai komunitas memberikan bantuan, institusi, lembaga, dusun dan desa, paguyuban dan lainnya. Kampung Ngliparkidul sendiri, setiap RT dikoordinir untuk membantu ala-kadarnya, rata-rata berwujud uang, meski ada pula yang berwujud pakaian dan semacamnya.

“Perantauan Jakarta meluncur… semoga ala-kadarnya ini dapat membantu sedherek di Ngregis dan Cerbon”, laporan perantau di grup whatsapp. Gambar sebuah mobil, yang sedang diisi bantuan tampak dikirim ke grup. “Kami nyusul, Pak Dukuh. Ini sedang koordinasi”, demikian tulis perantau lainnya, sebut saja Bendhol.

Bendhol merupakan salah satu perantau yang punya segudang kegiatan kemanusiaan. Cukup sering postingan di akun FB-nya dipenuhi dengan gambar orang terlantar yang dikunjungi, sekaligus berbagi bantuan. Dan, pada bencana kali ini, dia datang, pulang kampung membawa bantuan yang dia kumpulkan dari komunitasnya.

### 

“Semoga aman, damai, dan rukun, di Karang Kadempel ini”, demikian Kyai Semar berkata. Kalimat yang diucapkan Kyai Semar tersebut lumantar mulut Ki Dalang, pada pertunjukan wayang kulit beberapa waktu lalu di Balai dusun Nglipar Kidul. Pada pertunjukan tersebut, datang pula saudara dari Ngregis dan Cerbon ikut menonton. Kini, seeolah-olah ujian dari doa Kyai Semar ini ditunjukkan pada kejadian bencana ini. Akankah dengan bencana banjir ini, Karang Kadempel tetap aman, damai dan rukun?


Baca juga: Nanggap seni wayang kulit: wujud penghargaan pada seni adiluhung warisan leluhur 

Kembali, penduduk 3 kampung dalam satu dusun ini disatukan lagi. Bukan pada pertunjukan wayang, namun pada kejadian yang berbeda, rasa solidaritas karena bencana banjir. Dan doa Kyai Semar tersebut menyatukan dua kejadian tersebut, menyatukan 3 kampung dalam kerukunan, kedamaian dan kebahagiaan.
Sekali lagi, semoga aman, damai, rukun dan bahagia di Karang Kadempel
#### 
Peni dan Pithuk kembali pulang. Membawa serenteng belalang, dan setengah ember cethul serta jenis ikan lain yang terbawa banjir. Atas nama solidaritas, mereka berbagi hasil buruan. Sore itu, mereka membawa lauk untuk bekal makan malam. Lauk dari kemurahan alam, dari aliran banjir yang bersahabat dan menjadi sehabat mereka, tentunya juga bagi semua warga Ngliparkidul. "Mak, iki cethul karo walange", Peni menyodorkan rentengan belalang itu pada ibunya. Wajan dan minyak goreng telah siap di atas keren penggorengan. Malam itu bersama-sama, mereka menikmati sepinya malam ditemani belalang dan cethul goreng hasil perburuan. 




Sambisari, 19 Desember 2017
Pukul 21.14 malam

--------
Sumber gambar: foto dari grup WA Ngliparkidul



Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trending

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts