Blog ini, didedikasikan untuk merawat sejarah Ngliparkidul, namun dengan tetap memandang ke depan. Agar generasi Ngliparkidul memiliki masa depan yang lebih cerah dan terarah, namun tak tercerabut dari sejarah yang telah membentuknya.

ccc

Nanggap seni wayang kulit: wujud penghargaan pada seni adiluhung warisan leluhur

oleh: Purwoko
Semoga damai dan tenteram, menyelimuti Karang Kadempel
NGLIPARKIDUL - Kamis sore (27/7), selepas Isya’, dengan beberapa pertimbangan, saya memantapkan diri untuk pulang ke Ngliparkidul. Sore itu, sesuai kabar di whatsapp grup ndeso saya, ada pertunjukan wayang kulit, dalam rangka peresmian renovasi balai dusun. Kabarnya, dihadiri atau diresmikan langsung oleh Bupati Gunungkidul, Bu Badingah.

Sampai di kecamatan Nglipar, sekitar pukul 9 malam. Mampir sejenak beli roti bakar, sambil melihat suasana malam di ibu kota kecamatan. Pusat kecamatan, namun konon kabarnya sepi saat malam hari. Setelah mengikuti jalan yang membelah kuburan Nglipar, sampailah saya di balai dusun, melewati sisi utara. Tidak menyangka, ternyata kerumunan orang telah memenuhi jalan, kendaraan pun juga parkir di kiri kanan jalan. Karena rumah asli saya ada di sisi selatan balai, maka saya balik kanan, dan menuju balai lewat sisi selatan. Keadaannya pun sama, ramai manusia. Setelah parkir, saya mendekat ke balai.

Kiri-kanan jalan tampak pedagang menggelar dagangannya, seperti halnya keramaian dusun lainnya, rasulan, atau orang yang punya gawe kemudian nanggap kesenian.

Tampak, Bu Badingah sedang memberikan sambutannya. Apresiasi, harapan, disampaikan pada warga, baik terkait balai dusun, posyandu, maupun kegiatan kemasyarakatan lainnya. Warga antusias mendengarkan. Mereka duduk di kursi yang telah disediakan, serta duduk di jalan depan balai, ada pula yang berdiri sambil jagongan dengan kiri-kanannya. Setelah sambutan, prosesi pemotongan pita, tumpeng, kemudian dilanjutkan pertunjukkan wayang kulit oleh dalang Ki Cermo Hadi Sutrisno dari Karang Poh, dengan lakon Wahyu Katentreman.


####

Ini adalah kali pertama saya nonton wayang semalam suntuk, dengan niat kuat ingin mengikuti cerita wayang. Menonton serial Mahabarata, membuat saya sedikit tahu bahwa cerita wayang memang mengandung makna pelajaran hidup. Namun, kurangnya pengetahuan saya tentang wajah setiap tokoh wayang, menjadikan saya kesulitan mengikuti jalannya cerita. Cerita wayang juga saya peroleh dari cerita kakek saya, tentang Wisanggeni. Karena sewaktu kecil saya pernah terbakar, maka kakek saya nanggap wayang dengan lakon Wisanggeni ketika saya dikhitan. Meski, cerita Wisanggeni pun tidak sepenuhnya saya tahu.

Cerita malam itu, seputar Kyai Semar yang hendak diperebutkan Pandawa dan Korawa. Semar hanya mau ikut pada pihak yang memiliki wahyu katentreman. Sangkuni (Sengkuni), berniat menangkap paksa Kyai Semar dan dibawa ke Astina. Tentunya, adegan Sengkuni ini, khas dan dibumbui dengan dialek lucu Sengkuni yang bisa memancing tawa penonton. Kalau anda melihat film Mahabarata, pasti kesal dengan sikap dan tata bicara Sengkuni, namun akan beda dengan cerita wayang Jawa. Anda akan tertawa terpingkal melihat adegan seputar Sangkuni.

Sebagaimana pertunjukkan wayang gagrak baru, terdapat sesi Limbukan. Limbukan, yang diselingi Campursari yang dimulai sekitar pukul 11 malam sampai 12.30-an itu, membuat semua penonton merengsek ke depan. Demikian pula Goro-goro, yang biasanya dimulai pukul 1 atau dua pagi, yang berisi dialog ponokawan yang kadang konyol, namun juga memuat falsafah hidup dari Kyai Semar.


Alunan musik Jawa, disertai syair Sinom Parijoto, dan semacamnya, terasa membawa kedamaian. Bagi yang memiliki minat budaya, musik dan syairnya, jauh di atas musik lainnya.

Sangkuni bersembunyi agar tidak terlihat Semar, dengan harapan akan mudah menangkap Semar dan membawa ke Astina. Sampai akhirnya, ternyata dengan berbagai perjuangan, wahyu katentreman justru berhasil diperoleh Pandawa, tanpa Sangkuni mengetahui karena dia masih bersembunyi. Ketika orang Astina memberi kabar kepada Sangkuni, barulah dia kaget.

“Njuk kapan Astina saged menang saking Pandowo?” begitu kata Sangkuni menahan kecewa. Dia pun akhirnya lari ke Astina, ketakutan dikejar ksatria Pandawa.


Semar, dan ksatria Pandawa berkumpul di Karang Kadempel. Semar memberi wejangan, dengan harapan semoga Karang Kadempel dapat menjadi daerah yang tenteram, aman, dan penuh keberkahan.

Dalang menutup pertunjukan, dengan memainkan sepasang wayang golek untuk beberapa saat. Sampai akhirnya, selesai dan alat tabuhan di gletekke para wiyogo. Spontan, saya bertepuk tangan, diikuti beberapa orang penonton yang masih bertahan hingga dini hari itu. Memberi penghargaan pada Ki Dalang, yang saya rasa harus dilakukan. Semua alat tabuhan diletakkan, wiyogo meninggalkan arena pertunjukkan. Dalang berdiri dan berjalan ke luar arena pertunjukkan.




Saya menghampiri Ki Dalang yang sedang bersalaman dengan Pak Dukuh dan panitia. Saya minta foto bersama.



####

Malam itu, saya benar-benar merasakan kegembiraan. Orang boleh menyebutnya nostalgia, karena
memang salah satu yang saya anggap sangat berharga adalah ketemu orang tua, saling menyapa, satu kerumunan, bersama-sama menikmati hiburan ala desa, merasakan sesuatu yang sangat lama tidak saya rasakan. Asap rokok bermerek, ataupun rokok lintingan yang membumbung di udara, tidak jadi soal. Dimaklumi dalam pertunjukan wayang seperti ini. Memang, akhirnya hanya tersisa beberapa penonton saja sampai detik akhir pertunjukkan. Salah satunya Pak Dukuh yang tetap setia menemani warganya.


Pak Dukuh, bahkan dengan ramahnya meminta saya ke dapur, diajak membuat minuman atau sekedar makan lemper yang masih tersisa. Tawaran makan besar juga disampaikannya. “Mas Koko di ajak mangan kono”, begitu katanya pada saya dan Kang Giyono, yang sebelumnya bersama saya menikmati wayang di kursi yang mulai ditinggalkan penonton. Karena sudah kenyang, setelah sebelumnya nongseng bareng Lek Wasiran, terpaksa saya tolak tawaran tersebut. Di dapur, saya membuat kopi, dan makan 3 buah lemper. Saya lihat, Pak Dukuh dengan tanpa gengsi membuat minumannya sendiri. Air hangat dengan gula batu dan beberapa buah jeruk nipis. Agaknya untuk sekedar obat rasa capek yang jelas tergambar di wajahnya, serta mengembalikan suaranya yang agak parau.

“Pak Dukuh kui kok ora ono sing ngladeni?”, komentar seorang kawan di WAG. Tapi begitulah Pak Dukuh, yang membuat minumannya sendiri. Pak Dukuh yang egaliter dan melayani. Semoga..

Di dapur itu pula, saya berbincang dengan Pak Tukino, yang tinggal di timur balai, tentang pembangunan Balai Dusun. Balai dusun ini adalah balai dusun pertama di kelurahan Nglipar. Informasi ini menguatkan informasi yang sebelumnya saya peroleh dari Pak Sukiyo lewat Gunawan, anaknya. Pembangunan dilakukan pada masa Dukuh Merto. Beberapa tokoh yang waktu itu menjadi garda depan pembangunan adalah Pak Harto, Pak Mardi (alm).

“Saiki lak gari nglestarekke” (sekarang kan tinggal merawat saja), demikian katanya.

Semoga, dengan acara malam itu, dengan doa-doa dari Kyai Semar, agar Karang Kadempel menjadi daerah yang tenteram, damai, aman, sejahtera menjadi terwujud pula di Ngliparkidul.


####

Pak Dalang, setelah foto bersama itu, meminta saya menyimpan nomor handphonenya. “Saya menyadari cerita adiluhungnya wayang, setelah usia 30 ke atas ini, Pak” merupakan kalimat yang sempat terlontar dari mulut saya kepada Pak Dalang. Mungkin dia kaget, kok ada pemuda yang begitu terus terang kepadanya terkait pewayangan.

Keputusan mengundang wayang kulit, bagi saya sangatlah luar biasa. Di saat tren syukuran dengan mengundang kesenian yang tidak layak tonton warga, tidak layak tonton bagi anak-anak, namun Ngliparkidul, pada peresmian balai dusun ini tetap mengundang wayang. Penonton yang tidak bertahan sampai akhir cerita, bisa dicarikan solusinya.

Keputusan mengundang wayang kulit, adalah keputusan yang meneguhkan bahwa syukuran balai dusun ini adalah syukuran seluruh warga dusun, tidak berbatas usia. Sehingga hiburan yang dihadirkan juga harus lintas usia. Menghargai seni leluhur, yang harus dilakukan oleh generasi penerus.


Salut dan hormat saya untuk semua panitia.

Sebentar saya membantu panitia merapikan kursi, kemudian pamit, karena adzan Subuh sudah berkumandang. Setelah menunaikan ibadah Subuh di masjid Nurul Iman, saya kembali ke Kalasan, Jogja. Tiada rasa kantuk selama perjalanan, mungkin ini efek dari doa Kyai Semar pada Karang Kadempel.



Hari terakhir bulan juli duaribu tujubelas
enam, sembilan menit, pagi hari

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trending

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts