Blog ini, didedikasikan untuk merawat sejarah Ngliparkidul, namun dengan tetap memandang ke depan. Agar generasi Ngliparkidul memiliki masa depan yang lebih cerah dan terarah, namun tak tercerabut dari sejarah yang telah membentuknya.

ccc
  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Puthul dan ungkrung jati: berkah, gizi, lan rejeki kanggone warga Ngliparkidul

Menjelang musim hujan, meski belum begitu sering, ada harapan baru bagi warga Ngliparkidul. Mereka akan menikmati makan pagi, siang, sore dan malam mereka dengan lauk yang tidak setiap hari ada. Ya, lauk puthul dan ungkrung atau ulat jati.

———

Sore itu, menjelang Magrib, tampak Kang Dadhap bergegas menuju kebon di samping sungai. Sejurus kemudian dia khusyu’ di bawah pohon jati, mahoni, atau sambi. Tangannya begitu cekatan nyekel hewan kecil agak bulat yang menempel di daun atau di batang pohon. Menjelang sore tadi,  gerimis turun. Air gerimis   membuat hewan ini muncul menampakkan diri , menyerahkan diri untuk “ditangkap”. Itulah puthul, hewan kecil namun mberkahi, bergizi dan ngrejekeni bagi warga.

Bukan hanya puthul, musim hujan juga membawa rejeki lain untuk warga.

***

“Hoei, tangi-tangi. Ndang subuh, trus nang kali”, simbok tua (nenek) membangunkan saya. Saya pun segera cuci muka, wudhu dan menunaikan Subuh. Kemudian bergegas mengambil botol bekas air mineral yang sudah saya siapkan sejak sore sebelum tidur, mengikuti langkah simbok tua. Kami menuju ke sungai.

Pagi itu, sudah banyak orang berkumpul di sungai samping timur rumah. Hampir semuanya mendongak ke atas, tepat di bawah rerimbunan pohon jati. Ada yang membawa plastik,  trempolong, botol kosong air mineral, dan semacamnya. Mereka menanti ulat jati yang sudah berumur, turun dari daun jati. Tampak di samar ulat jati turun menggunakan liurnya, persis seperti pemanjat tebing terjun bebas menggunakan alat pengaman. Mak tlereng…… Ulat ini langsung masuk di wadah yang mereka bawa.


Di dalam wadah itu ulat berkumpul. Warna mereka hitam, kadang ada yang bloreng di atasnya. Bagi yang tak biasa, tentu akan menakutkan. Ulat itu bergulat dalam wadah, tapi sia-sia saja, ulat-ulat itu tak bisa keluar. Setelah ulat masuk, kemudian wadah ditutup rapat. Ulat itu mendapat kesempatan keluar ketika wadah dibuka untuk nadahi ulat yang baru turun. Saya pun harus menghalau ulat itu masuk wadah kembali.

Setelah matahari menampakkan diri, saya diajak pulang. Saya harus segera mandi dan sekolah. Ulat hasil buruan saya berikan ke mamak, untuk dimasak. Siang nanti, sepulang sekolah saya akan makan siang lawuh ulat goreng. Atau mungkin sayur lombok ijo campur ungkrung (kepompong ulat jati).

###

Lain waktu, ketika hari menjelang siang, atau sore hari, ada pemandangan menarik yang tidak biasanya. Warga tampak duduk khusyu’ di kebon,  di bawah pohon jati. Siang itu tampak jelas, pohon jati yang di pagi buta didatangi warga, ternyata sudah tak punya daun lagi. Habis. Daun itu dimakan ulat, dan ulat itu sekarang diburu warga.

“Oleh urung, Kang?”, tanya Suto pada Noyo. Tampak, Noyo memainkan gagang kayu kecil, sepanjang 20cm. Mengorek tanah, daun, atau bebatuan. Terkadang senyum tersungging di bibir Noyo. Tangannya cekatan merobek daun dan mengambil ungkrung yang menempel. Atau terkadang masih berbentuk ulat, belum sepurna menjadi ungkrung. Tampak pada plastik yang dia pegang, sudah terisi lebih dari setengah. Campur antara ulat dan ungkrung.

“Ini oleh setengah plastik, Kang. Lumayan iso digoreng karo dinggo campuran jangan lombok”. Noyo memperoleh setengah plastik, dia akan berikan pada istrinya untuk digoreng, atau dicampur sayur lombok ijo. Sebagai teman nasi thiwul, tentunya sangat nikmat. Apalagi, jika dibuntel, dibawa ke ladang untuk makan siang ketika istirahat nggarap sawah, menanam, atau matun.

“We, lha. Wis to sasak tho kene iki”, Suto bertanya. Tampaknya Suto harus mencari tempat lain. Tempat yang dia datangi sudah disikat habis oleh Noyo.

“Iyo, Kang. Wis tak wolak-walik mau. Lah sampeyan ora kerjo, po?. Jare nggarap neng nggone juragan kayu”, Noyo menjawab pertanyaan Suto sekaligus bertanya balik. Suto memang kesehariannya buruh bangunan. Dia buruh bangunan pilihan. Garapannya bagus, juga tertib. Jam 8 sudah mulai, jam 17 baru pulang. Dia tidak udud, sehingga mengurangi pengeluaran yang punya gawe. Banyak orang menggunakan tenaganya, bahkan rela antri jika Suto sedang ada garapan lain.

“Iyo, kang. Aku njaluk libur. Meh golek ungkrung. Jarene sekilo nganti 100 ewu je. Sopo reti iso nomboki le prei, tur iso dinggo lawuh”, Suto menjawab. Dia minta libur, cari ungkrung yang hanya setahun sekali. Harganya yang terkerek naik hingga ratusan ribu diharap bisa nambal liburnya, sekaligus untuk lauk keluarga.

####

Itulah fenomena musiman di Gunungkidul, Ngliparkidul khususnya. Puthul dan ulat jati akan berubah menjadi lauk yang luar biasa nikmat. Memasakknya bisa bermacam cara. Mulai dari cara konvensional di goreng, dicampur untuk sayur lombok ijo. Atau disambel kambil, bothok, atau dilinthing.

Bisa dipakai lauk, atau diganyang sebagai teman ngopi atau ngeteh. DI siang hari, sore, atau malam hari sambil nonton program ketoprak setiap malam selasa. Akan lebih seru jika ketoprak itu sayembara, dengan pemain terkenal macam Gito-Gati, Bambang Rabies atau mbok Beruk.

Puthul dan ulat jati, apalagi ungkrung ulat jati rasanya nikmat. Jika diminta  memberi permisalan, sangat sulit. Sulit sekali. Dia lebih nikmat dari daging sapi, bahkan direndhang sekalipun. Jauh lebih nikmat. Apalagi dengan bandingan hamburger, hot dog, donat. Jauh lebih gurih.


###

Kini, warga perantauan Nglipakidul yang ada dinegeri manca sangat merindukan “rasa” ulet atau ungker jati ini. Maklum, di kota tidak mungkin mendapatkannya. Kalau toh ada pohon jati, kemungkinan kecil dimakan ulat jati. Kalau toh dimakan, tentunya tak sampai hati, atau tepatnya malu jika harus munguti ulat kemudian dimasak. Apa kata orang nantinya.

Mereka rela pulang ketika musim puthul dan ulat jati. Ikut mencari sambil bercengkerama dengan warga lain, cerita tentang kota, pekerjaan, atau mungkin lowongan kerja. Siapa tahu ada sesama warga yang bisa ikut nunut, merantau ke kota.

[ selesai]

sumber foto: grup WAG Ngliparkidul
Share:

Trending

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts