Blog ini, didedikasikan untuk merawat sejarah Ngliparkidul, namun dengan tetap memandang ke depan. Agar generasi Ngliparkidul memiliki masa depan yang lebih cerah dan terarah, namun tak tercerabut dari sejarah yang telah membentuknya.

ccc
  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Sejauh kami punya "kerja bakti", kedamaian akan selalu hadir

Ngliparkidul -- Molen itu sudah siap sejak kemarin sore, lengkap dengan pasir dan sekian sak semen. Lokasi sudah dibersihkan, jadwal sudah diumumkan. Rencana jajanan pasar sekaligus minuman juga sudah disampaikan ibu PKK. Biayanya dari mana? "Sisa rehab balai dusun, sumbangan, dan hadiah lomba karnaval Agustusan tahun 2017", demikian kata Pak Dukuh.


Hari itu Ngad Legi (17/12) diumumkan bahwa kerja bakti menyelesaikan lapangan di depan balai dusun akan dilaksanakan. “Minggu kerja bakti, lur. Persiapan untuk wayang tanggal 30”, demikian informasi itu masuk di grup obrolan kampung. Hari Minggu warga pun berdatangan, bagi yang memiliki alat tentunya membawa alat yang dibutuhkan.

Molen, demikian alat itu populer disebut, merupakan alat pencampur semen dan pasir untuk kepentingan bangunan, menjadi alat utama pada proses kerja bakti pagi itu. Pasir, semen dan air dimasukkan di dalamnya, dengan takaran tertentu. Molen pun memutar tangki yang berbentuk mirip jajan pasar molen. Mungkin, memang demikian ceritanya, karena mirip jajanan molen hingga orang kampung memberi nama alat tersebut “molen”.

Takerane siji sepuluh, Lur”, dalam bahasa Jawa, Kang Suto memberi komando. “Takarannya satu semen banding sepuluh pasir”, demikian kurang lebihnya. Tentunya dengan campuran kroco atau batu gandik yang sudah dipecah kecil-kecil. Ember berisi pasir, dan kroco pun mulai diangkat oleh warga secara bergantian masuk ke mulut molen ditambahi semen dan air secukupnya. Molen berputar, mengaduk, mencampur bahan di dalamnya agar ulet. Setelah dirasa cukup, ditampung dalam ember untuk kemudian diratakan di lapangan di depan balai dusun.

Lapangan itu memang bukan lapangan baru, namun sejak balai dusun diperbaiki, direhab, maka lapangan itu ikut terkena imbas, rusak, sehingga harus ada perbaikan. Atau harus dibuat lebih baik, agar lebih seimbang dengan bangunan balai yang sudah tampak megah itu. Selain itu, pekan depan akan digunakan untuk menggelar hiburan kesenian tradisional bagi warga kampung. Wayang Cakruk, demikian kabarnya yang akan mengisi malan tahun baru itu.

Untuk itu, warga perlu kerja bakti.

Kerja bakti ini merupakan kegiatan rutin seperti pada umumnya digelar di kampung-kampung. Cukup dengan pengumuman menggunakan horen, atau melalui para ketua RT, atau lewat obrolan malam ketika ronda, maka hajat kerja bakti akan mudah didengar oleh warga kampung. Pada hari yang ditentukan warga akan berdatangan menghadiri.

Para ibu, biasanya tanpa dikomando secara njlimet sudah tanggap. Mereka akan menyiapkan wedang dan pacitan untuk para Bapak yang ikut kerja bakti. Biasanya berwujud teh panas, serta jajanan pasar, ada pula yang dibuat sendiri semacam telo goreng, kacang goreng, legender, puli, telo godok dan semacamnya. Semuanya bisa diperoleh dari ladang di samping rumah mereka, untuk polo kependhem hanya perlu sedikit energi untuk mbedol, dan kemudian memasaknya. Itulah kontribusi para ibu dalam proses kerja bakti, walaupun ada pula ibu-ibu yang ikut kerja bakti.

Ya, kerja bakti bukan monopoli kaum bapak.

###

Kira-kira pukul 9.30, akan ada komando untuk istirahat, wedangan atau sumene. Komando biasanya disampaikan si pembuat minum, langsung kepada warga atau disampaikan pada yang dituakan, Pak Dukuh misalnya. Pembuat minum biasanya ibu-ibu, atau bisa juga bapak-bapak yang sudah sepuh dan kurang pas jika ikut kerja fisik berat. Mereka biasanya tetap ikut kerja bakti, sak kecekele. Kemudian Pak Dukuh pun akan menyampaikan informasi wedang yang sudah siap itu kepada peserta kerja bakti.

“Kendhel rumiyin, monggo sami ngunjuk”, pengumuman itu menggema, memecah obrolan warga yang kerja bakti. “Istirahat dulu, mari minum dulu”, demikian kira-kira arti ajakan itu. Warga pun kemudian menuju tempat disiapkannya minuman dan pacitan, mengambil gelas yang sudah berisi teh panas, serta tak lupa menyambar sepotong pacitan untuk teman minum. Warga yang membawa udud, langsung dibuka. Yang sepuh, biasanya bawa selpen, yaitu bungkusan plastik yang isinya tembakau, segaret (kertas pembungkus rokok), klembak, uwur, kadang ada menyan ududan. Mereka nglinting udud sendiri.Pada proses ini, kadang ada warga yang agak ngeyel ndak mau istirahat minum. Sebenarnya bukan karena tidak mau, tapi mungkin ada pekerjaan nanggung yang harus diselesaikan. Atau ada pula yang rikuh, mungkin datang terlambat sehingga merasa kurang elok jika belum banyak berbuat, sudah mau istirahat ikut minum.
Suto: "selpene dibukak, Yo"
Noyo: "gilo, mbakoku enak iki. Lagi tuku nang pasar wingi je. Titip Yu Paijem"

Tapi demikianlah, warga lain akan ngereh-ereh, merayu setengah memaksa untuk ikut istirahat. Wis, leren sik, Jo”, teriak Suto yang diamini warga lain, dan akhirnya membuat hati luluh kemudian ikut wedangan. Prosesi wedangan itu diwarnai dengan obrolan ngalor-ngidul tentang apapun. Tentang tanaman palawija, tentang hujan, tentang banjir, tentang hewan ternak, tentang pupuk, atau tentang garapan yang sedang mereka lakukan.

Setelah dirasa cukup, salah satu akan memulai lagi, dan yang lainnya akan mengikuti. Meskipun demikian, minuman biasanya tetap disiapkan bagi warga yang merasa haus ketika proses kerja bakti.

### 

Menjelang siang, pengerasan lapangan itu selesai. Campuran bahan telah rata, tinggal menunggu keras, untuk kemudian digunakan sebagai tempat beraktivitas warga.

Kerja bakti itu memberi bukti, bahwa kerukunan mereka miliki, guyub selalu mereka pupuk. Riak-riak kecil mereka telateni untuk diselesaikan dengan baik dan bijak. Karena mereka tahu, bahwa kerukunan dan kedamaian adalah lebih utama.

Kabeh iso dirampungke yen disonggo bareng-bareng. Semoga aman, damai, dan bahagia di Karang Kadempel.

Sambisari, 21 Desember 2017
Pukul 20.00

--------

Sumber gambar: foto dari grup WA Ngliparkidul
Share:

Bencana Banjir: Doa Kyai Semar dan ujian pada warga Ngliparkidul

"Oei, ayo nang kali. Golek cethul. Ojo lalu nggowo irik karo ember", teriak Peni sambil berjalan bergegas menuju arah sungai yang sedang banjir di sisi timur kampung. Sementara itu, Pithuk sibuk membawa genter sambil sesekali memukulkannya pada pepohonan. "Walang-walang....", teriak Pithuk. Anak-anak yang sedari tadi mengikuti di belakang langsung berhamburan berlari searah terbangnya belalang yang muncul dari pohon. Kaki-kaki kecil, tapi kokoh itu menerjang apa saja yang ada di depannya. Lumpur mengotori kaki, celana dan baju, karena sesekali mereka harus rela jatuh agar sukses menangkap belalang yang terbang. Di tangan, mereka menenteng seikat belalang yang sudah tertangkap

Ngliparkidul -- Hujan, merupakan teman bagi anak-anak kecil, khususnya lagi di pedesaan. Bersama-sama, ketika hujan mereka bermain di halaman, di jalanan, terkadang di sungai. Atau berlarian di sela-sela tanaman warga yang baru tumbuh di tegalan untuk mengejar belalang yang terbang, sebagai sumbangan lauk untuk keluarganya. Atau membawa ember dan irik, dan rela menerjang banjir untuk menangkap cethul, juga sebagai sumbangan lauk untuk keluarganya. Hujan merupakan sahabat, teman bagi anak-anak desa. 

Namun berbeda dengan hujan yang berlangsung beberapa hari itu. Hujan yang pada puncaknya, Selasa (28/11) membawa bencana yang dirasa paling besar sepanjang masa di Gunungkidul. Semua mengamini, bahwa hujan itu merupakan hujan terlebat dengan dampak terparah di Gunungkidul.

###

“Yen udan, mesakke wong Ngregis karo Cerbon”, demikian kata orang tua warga dusun Ngliparkidul. Ngregis dan Cerbon merupakan kampung kecil di tengah hutan, bersama kampung Ngliparkidul, ketiganya menjadi Dusun Ngliparkidul. Dua kampung itu menjadi RT sendiri yaitu RT 6/4, dan berjarak kurang lebih 1 km dari kampung Ngliparkidul. Letaknya yang berada di dekat tempuran (pertemuan dua sungai), membuatnya rawan banjir. Konon kabarnya, penduduknya, yang hanya ada beberapa rumah itu sudah ditawari pindah, namun sejarah dan kesuburan tanah agaknya membuat mereka tetap bertahan.

Tentang sejarah Ngregis dan Cerbon, semoga ada waktu lain untuk bercerita. Kali ini, saya hendak sampaikan sepenggal cerita tentang bencana yang baru saja dihadapi.

Setiap tahun penduduk Ngregis dan Cerbon sudah akrab dengan “siaga” banjir. Cerita kebanjiran dari dua kampung itu sudah menjadi cerita umum, turun temurun bagi warga Ngliparkidul. Namun banjir di Selasa (28/11) itu benar-benar yang paling besar. Bukan hanya untuk Ngregis dan Cerbon, namun untuk Gunungkidul. Daerah di dataran tinggi, yang bagi sebagian orang dianggap mustahil banjir.

“Yen Gunungkidul banjir, njuk piye Jogja?”, demikian komentar yang muncul.

Kejadian Selasa itu benar-benar membuktikan, bahwa alam dan Pembuat Alam tidak akan kekurangan cara untuk membuat sesuatu yang mustahil menjadi sangat mungkin.

#### 

“Laporan lur, ini kondisi Ngregis. Air naik sampai empyak rumah”, seorang warga yang sedang di lokasi melaporkan. “Alhamdulillah, bisa dievakuasi. Anak-anak, orang tua, dan jompo”, warga lainnya menimpali.

Foto sebuah rumah, yang hampir terendam banjir menghiasi grup komunikasi kampung. Sebuah rumah, milik Bu Warsini pada tengah hari kira-kira pukul 12.17 siang hampir terendam. Pandangan kosong si empunya rumah, seakan tidak percaya pada apa yang saat itu terjadi. Ternak sapi selamat, kecuali ayam yang tak bisa diselamatkan”, warga lain memberi informasi. Saya tidak bisa membayangkan, ketika ayam peliharaan itu hanyut terbawa banjir, bagaimana dengan harapan yang telah dipupuk warga terhadap ayam-ayam itu?  Mungkin, mereka berencana esok hari ketika datang hari pasaran, si ayam akan dibawa ke pasar, dijual untuk membeli beras, minyak, atau sepotong pakaian baru untuk anak cucunya. Atau, cadangan untuk makan besar ketika anak cucu mereka pulang. “Untung sapi-sapi bisa diselamatkan”, saya membatin.

“Butuh bantuan tenda, pakaian kering, makanan cepat saji”, laporan kembali masuk. “Wanita, anak-anak dan jompo aman, tidur di rumah penduduk terdekat, sementara bapak-bapak tidur di tenda sambil berjaga”, laporan lain menyusul seakan ingin memberitahukan bahwa suasana sudah agak terkondisikan. Di tengah hujan yang belum reda sepenuhnya, malam hari, ditambah listrik yang padam, tanpa pakaian kering, tentunya menghadirkan suasana yang mencekam. Aparat desa/dusun, berusaha mengondisikan, namun saya yakin di lapangan tidak sesederhana itu.

Menjelang petang, informasi meluapnya air di jembatan kali Oyo menjadikan tambahan horor tersendiri. Jembatan yang panjang, dan jarak dengan dasar sungai cukup dalam, namun bisa juga meluap, hingga kendaraan tidak bisa melintas. Kabarnya di sebelah barat kota Wonosari, jembatan Bunder juga meluap. Wonosari menjadi kota terisolir.

###

Beruntungnya kami telah memiliki Dukuh baru, yang dilantik pertengahan tahun lalu. Belum genap dua tahun, setelah sebelumnya kosong karena Pak Dukuh sebelumnya memasuki masa pensiun. Usia Pak Dukuh kami belum genap 40 tahun, yang tentunya masih terhitung muda, dan bebas dalam bergerak. “Ah, tentunya ini sebuah keberuntungan”, saya berfikir menyimpulkan.

Saya membayangkan Pak Dukuh dan warga Kampung Ngliparkidul sedemikian sibuk dan paniknya. Ya, Pak Dukuh Gito dihadapkan pada situasi yang saya yakin belum atau tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Jika sudah diperkirakan, ya hanya sebatas banjir sebagaimana biasanya.

Percakapan di grup Whatsapp kampung Ngliparkidul itu semakin ramai. Laporan A1 dari warga kampung berwujud kalimat ataupun gambar muncul silih berganti. Komentar, doa mengikutinya. Warga perantauan Ngliparkidul yang dikenal kuat dalam persaudaraan juga memberikan tanggapan, bahkan ada yang sudah berfikir apa yang bisa dilakukan pasca bencana itu.

“Perantauan iso mbantu opo, Lur?”, tanya si Suto. “Apa yang dibutuhkan pasca bencana, Lur”, Noyo menimpali.

Di dusun kami, ada beberapa warga yang mengabdi sebagai perangkat pemerintahan. Tentunya, pengalaman mereka menjadi nilai tersendiri dalam penanganan hal-hal terkait kemanusiaan dan kegotong-royongan dalam bencana ini. “Makanan siap saji, selimut, tenda, pakaian kering….”, kata Kang Dhadap, warga yang juga pegawai di kantor desa. Percakapan di grup jejaring sosial itu berlangsung sampai malam hari. Saya tidak tahu bagaimana warga melewatkan malam itu. 

Info terakhir jalan menuju Ngliparkidul dari Jogja tidak bisa dilewati, baik dari Sambipitu, maupun dari Wonosari. Jembatan Bunder dan Kali Oyo yang dalam dan luas itu tidak bisa dilewati.



Hingga Rabu pagi menjelang.


### 

melakukan pendataan
Rabu pagi (29/11) jalan menuju Wonosari sebagai ibukota kabupaten,  mulai bisa digunakan, meskipun lumpur di titik masuk kota masih mengganggu. Lumpur ini merupakan hasil dari banjir yang di berbagai jembatan sempat naik dan memutus jalur menuju Wonosari. Karena banyak yang terdampak banjir, Rabu itu sekolah-sekolah diliburkan.

Sejak Rabu, warga mulai bergerak membereskan sisa-sisa pasca banjir. Pak Dukuh Gito juga mulai identifikasi riil terkait dampak bencana tersebut. Rumah yang hanyut, terendam, rusak dan lainnya. Banjir yang terjadi pada Selasa (28/11) itu  mengakibatkan 4 rumah rusak parah dan 1  terbawa arus.

Hasil identifikasi tersebut kemudian menjadi dasar penanganan berikutnya. Tentu saja penanganan pertama merupakan penangan swadaya masyarakat. Warga berempati pada pemerintah, maklum, bahwa dengan begitu luasnya dampak banjir, pastinya pemerintah punya prioritas yang harus dilaksanakan. Maka, sehari kemudian, Kamis (30/11) Pak Dukuh mengumumkan kegiatan kerjabhakti bagi warga dusun.

“Poro wargo masyarakat ing dusun Ngliparkidul, wonten ing dinten Kemis, tanggal tigang ndoso November 2017 dipun suwun sak iyek sak ekoproyo, nindaki kerjabhakti wonten ing dusun Ngregis lan Cerbon. Wonten ing dalemipun sedherek-sedherek kulo panjenengan sami ingkang saweg pinaringan pacoban saking Gusti Allah. Kulo suwun ngasto gaman lan sangu awujud unjukkan piyambak-piyambak’, demikian kurang lebihnya.

Kalimat, yang pasti berat diucapkan Pak Dukuh muda itu di awal-awal masa bhaktinya. Tapi harus disampaikannya, sebagai wujud pengabdiannya sebagai yang dituakan di dusun.

Cancut taliwondho, bareng gotong royong
Kamis pagi, disaat orang kantoran di luar Gunungkidul mandi, berdandan rapi hendak berangkat ke kantor, atau mulai mengais rejeki, maka tidak untuk warga Ngliparkidul. Mereka mengangkat cangkul, sekop, sampil mengenakan seragam kebesaran mereka berupa kaos yang kadang sudah agak lusuh yang selama ini biasa digunakan untuk ke sawah. Tidak lupa, selembar kain untuk menyeka keringat, caping berbentuk kerucut, atau sekedar topi kain yang mungkin sudah sobek untuk sekedar menahan panas. Botol minuman yang bagian dalamnya agak coklat tanda sisa air teh tidak lupa di bawa, tentu saja sekaligus isinya.

Bersama-sama, pagi itu mereka ke Ngregis dan Cerbon. Harus hari itu!, tidak bisa ditunda meskipun hari berikutnya tanggal merah, hari libur. Bagi mereka, hari Kamis itu meskipun pada kalender tercetak hitam, mereka harus meliburkan diri, menyempatkan waktu untuk membantu saudaranya di Ngregis dan Cerbon. Ini tidak bisa digugat, tak bisa ditawar lagi.

### 

semua bekerja sama
Sekop mulai digerakkan, warga yang berjejer mulai bekerja memindahkan kayu atau apapun yang perlu disingkirkan. Rumah yang diterjang banjir itu, berangsur mulai rapi. Masih tampak pada tembok-tembok ada bekas air yang sempat merendamnya.

Mata penduduk Ngregis dan Cerbon berbinar, senang karena meski berjarak sekilo lebih, ternyata saudara mereka di kampung seberang masih mau membantu. Sekaligus berbinar karena menahan haru, sekaligus sisa-sisa rasa sedih.

Guyonan, obrolan khas wong ndeso mewarnai kegiatan kerjabhakti itu. “Sabar lur, ana pakune…”, seloroh warga ketika mau mengangkat kayu yang terkadang masih tertancap paku. Obrolan itu menjadi hiburan sampai berakhirnya kerjabhakti. E, yo mugo-mugi diparingi sabar, Yu…. seloroh Mbok  Waru memecah suara sekop yang beradu.

### 

Bhakti Sosial komunitas (FB Dwi Bendhol)
Hari berganti, siang-malam-siang datang lagi. Bantuan mulai berdatangan. Berbagai komunitas memberikan bantuan, institusi, lembaga, dusun dan desa, paguyuban dan lainnya. Kampung Ngliparkidul sendiri, setiap RT dikoordinir untuk membantu ala-kadarnya, rata-rata berwujud uang, meski ada pula yang berwujud pakaian dan semacamnya.

“Perantauan Jakarta meluncur… semoga ala-kadarnya ini dapat membantu sedherek di Ngregis dan Cerbon”, laporan perantau di grup whatsapp. Gambar sebuah mobil, yang sedang diisi bantuan tampak dikirim ke grup. “Kami nyusul, Pak Dukuh. Ini sedang koordinasi”, demikian tulis perantau lainnya, sebut saja Bendhol.

Bendhol merupakan salah satu perantau yang punya segudang kegiatan kemanusiaan. Cukup sering postingan di akun FB-nya dipenuhi dengan gambar orang terlantar yang dikunjungi, sekaligus berbagi bantuan. Dan, pada bencana kali ini, dia datang, pulang kampung membawa bantuan yang dia kumpulkan dari komunitasnya.

### 

“Semoga aman, damai, dan rukun, di Karang Kadempel ini”, demikian Kyai Semar berkata. Kalimat yang diucapkan Kyai Semar tersebut lumantar mulut Ki Dalang, pada pertunjukan wayang kulit beberapa waktu lalu di Balai dusun Nglipar Kidul. Pada pertunjukan tersebut, datang pula saudara dari Ngregis dan Cerbon ikut menonton. Kini, seeolah-olah ujian dari doa Kyai Semar ini ditunjukkan pada kejadian bencana ini. Akankah dengan bencana banjir ini, Karang Kadempel tetap aman, damai dan rukun?


Baca juga: Nanggap seni wayang kulit: wujud penghargaan pada seni adiluhung warisan leluhur 

Kembali, penduduk 3 kampung dalam satu dusun ini disatukan lagi. Bukan pada pertunjukan wayang, namun pada kejadian yang berbeda, rasa solidaritas karena bencana banjir. Dan doa Kyai Semar tersebut menyatukan dua kejadian tersebut, menyatukan 3 kampung dalam kerukunan, kedamaian dan kebahagiaan.
Sekali lagi, semoga aman, damai, rukun dan bahagia di Karang Kadempel
#### 
Peni dan Pithuk kembali pulang. Membawa serenteng belalang, dan setengah ember cethul serta jenis ikan lain yang terbawa banjir. Atas nama solidaritas, mereka berbagi hasil buruan. Sore itu, mereka membawa lauk untuk bekal makan malam. Lauk dari kemurahan alam, dari aliran banjir yang bersahabat dan menjadi sehabat mereka, tentunya juga bagi semua warga Ngliparkidul. "Mak, iki cethul karo walange", Peni menyodorkan rentengan belalang itu pada ibunya. Wajan dan minyak goreng telah siap di atas keren penggorengan. Malam itu bersama-sama, mereka menikmati sepinya malam ditemani belalang dan cethul goreng hasil perburuan. 




Sambisari, 19 Desember 2017
Pukul 21.14 malam

--------
Sumber gambar: foto dari grup WA Ngliparkidul



Share:

Pak Hardiyo: keterbatasan fisik, bukan halangan untuk kreatif dan maju

foto: Hardiyo
Pak Hardiyo (51), atau Pak Har sapaan akrabnya, baru saja pulang dari Jakarta, tepatnya menghadiri acara di gedung SCBD Jakarta. Pada tanggal 30 November lalu, beliau hadir di gedung tersebut bersama Puji Lestari, istrinya, untuk presentasi dalam acara "Empowered Comptetition: kompetisi pemberdayaan ekonomi pengusaha mikro penyandang disabilitas".

Pak Har merupakan salah satu warga Ngliparkidul, yang aktif di organisasi pemberdayaan penyandang disabilitas. Beliau Ketua Forum Komunikasi Dusabilitas Gunungkidul, Ketua Pusat pemberdayaan disabilitas mitra sejahtera Nglipar, Pengurus sub komite disabilitas Gunungkidul serta penasehat organisasi serupa di beberapa desa.

Pada acara tanggal 30 November itu, Pak Hardiyo datang bersama peserta lain dari 14 propinsi. Dengan semangat kuat, meski atasnama pribadi, optimisme tetap ditunjukkannya. Duduk di kursi roda, Pak Har begitu semangat menjawab pertanyaan dari dewan juri. Hadiah yang diperoleh, harapannya bisa digunakan untuk pembiayaan projek proposalnya, tentang pembuatan pakan ternak sapi tanpa hijauan.

Harapan lainnya, keikutsertaaannya diharapkan dapat memotivasi anak muda lainnya untuk aktif dan kreatif. Sejak menerima informasi kompetisi, Pak Har langsung melakukan identifikasi kebutuhan kelompok, mengumpulkan bahan dan kemudian membuat tulisan. Beliau berjuang mendapatkan kursi presentasi ke Jakarta dari total 70-an peserta kompetisi.

Perjuangan itu tidak sia-sia, juara 3 berhasil beliau peroleh. Tentunya selain predikat juara, juga memperoleh pengalaman sangat berharga, lebih dari sekedar nominal uang.

Berikut rekaman singkat proses tanya jawab beliau ketika presentasi.



###

Pak Hardiyo merupakan satu diantara sekian penyandang disabilitas. Beliau mengisahkan pengalaman hidupnya pada saya (6/1/2018) ketika saya datang ke markas organisasi Mitra Sejahtera. Markaz ini berada di dusun Ngliparkidul, pada gedung bekas SMU yang sudah tidak lagi digunakan.

Pak Hardiyo, sehari-hari menggunakan kursi roda. Kedua kakinya tak dapat lagi berfungsi secara normal. Kondisi kesehatan kakinya mulai berkurang bermula sekitar tahun 1992, dan benar-benar tidak bisa berjalan pada 1994. Tentunya keadaan tersebut, pada awalnya membuat beliau tertekan. Orang tua yang begitu mencintainya, mengusahakan pengobatan ke berbagai tempat. Namun hasilnya tidak optimal.

Pak Hardiyo mulai menerima keadaan pada fisiknya tersebut sekitar tahun 2006. "Wis ora sah adol dele dinggo ngobatke aku, sajake wes ngene iki lelakonku", demikian dia sampaikan pada orang tuanya. Kesehariannya diisi dengan kegiatan ringan khas orang desa, mulai dari potek jagung, pithil kacang, masak, nyuci, atau kegiatan lain yang bisa dilakukan dengan keterbatasan fisinya tersebut.

Orang tuanya, membantu dengan membuatkan kursi atau meja yang dilengkapi dengan roda pada kaki-kakinya. Waktu itu belum ada kursi roda. Dengan demikian, Pak Hardiyo bisa bergerak dengan leluasa. Dukungan orangtuanya sungguh luar biasa.

###

Tahun 2006, sejak keikhlasan dirinya tumbuh, sampai 2010-an dihabiskan di rumah. Perjuangan orang-tuanya, untuk bisa membuat Pak Hardiyo mandiri belum pupus. Hingga akhirnya mempertemukan dengan sebuah balai milik departemen sosial di Bantul. Di Balai ini, Pak Hardiyo mengikuti pelatihan-pelatihan keterampilan. Inilah masa awal Pak Hardiyo "keluar" dan mengenal dunia luar.

Perasaan minder, khawatir menyelimuti masa-masa awal ini, "Jangan-jangan nanti saya dicibir, disepelekke", demikian ceritanya. Pak Hardiyo memilih belajar elektro, namun karena fisiknya akan kesulitan jika ngangkat barang elektronik, kemudian belajar membuat pola dan menjahit.

Kegigihannya, mengantarkan dia berusaha pula membangun perpustakaan kecil di rumahnya. Kemudian kepercayaan dirinya yang mulai tumbuh, mengantarkan dia memperjuangkan penyandang disabilitas, khususnya di desanya, hingga akhirnya aktif dan menjadi pengurus beberapa organisasi.

"Saya ndak ingin teman-teman disabilitas mengalami seperti yang saya alami dulu. Maka jika ada yang membutuhkan kursi roda, jika ada maka langsung saya antar", demikian dia melanjutkan ceritanya setelah beberapa waktu lalu mengantar kursi roda di kawasan Gunung Kotak. Gunung Kotak berada di pegunungan perbatasan Gunungkidul dan Wonogiri. Medannya yang sulit dijangkau bukan halangan untuk beliau.

###

Aktifitas di organisasi mengantarkan beliau belajar dunia disabilitas ke Australia,  tepatnya di Sidney selama dua minggu bersama 20 orang lainnya  dari Indonesia. Di Sidney berbagai pengetahuan tentang disabilitas beliau peroleh. "Di Sidney saya berani keluar rumah sendiri, Mas. Jalan, angkutan, kantor, gedung mendukung disabilitas", demikian potongan ceritanya ketika di Sidney.

Bagi beliau, di Gunungkidul pun telah ada perubahan, meski jika banding Sidney memang masih jauh. Kondisi alam, anggaran dan lainnya memang berpengaruh. Apalagi kondisi sosial masyarakat. Gedung perkantoran di Pemerintah Daerah telah ada perubahan, baik letak kantor maupun tersedianya semacam lift (mirip lift) bagi penyandang disabilitas. Tentunya hal tersebut harus selalu ditingkatkan. Tidak kalah penting yaitu kondisi atau lingkungan masyarakat yang harus tanggap bahwa penyandang disabilitas juga berhak memperoleh perhatian yang sama dengan yang normal, serta berhak meningkatkan kemampuan dirinya sebagai manusia.

###

Kini, di gedung bekas SMU itu hari-harinya diabdikan untuk kemanusiaan, untuk rekan-rekan sesama  penyandang disabilitas melalui Mitra Sejahtera. Sesuai namanya, Mitra Sejahtera merupakan teman, mitra untuk bersama-sama meraih sejahtera.

Pak Hardiyo memberi contoh pada generasi muda, bahwa keterbatasan bukan halangan. Serta mengajarkan bahwa sesuatu yang dianggap terbatas bagi orang lain, tidak harus selamanya disesali. Cukupkah disadari, kemudian bangkit, menunjukkan bahwa Tuhan memberi "hadiah" pasti karena Dia mengganggap si penerima pantas dan istimewa. Mencari apa yang istimewa, adalah tugas berikutnya, yang harus didukung oleh dirinya sendiri, keluarga dan lingkungannya.

Jika empati, dan saling pengertian tersebut terbentuk, maka kehidupan manusia, apapun keadaannya akan ditaburi dengan kerukunan dan kedamaian.


Diedit ulang, 7 Januari 2018
Sambisari, Kalasan, Sleman, Yogyakarta







Share:

Genduren Rasulan: mengajarkan sedekah, syukur, dan pasrah pada Penguasa Alam Semesta

Tahun ini, sebagai bentuk nguri-uri budaya, Ngliparkidul kembali mengadakan kenduri rasul. Kenduri ini sebagai bentuk syukur pada Allah atas segala nikmat yang diberikan. Selain itu, kenduri juga sebagai wahana bertemunya warga dusun, sehingga dapat meningkatkan intensitas kekerabatan antar mereka.

Ketika rasul, selain memasak untuk keluarga sendiri, warga juga menyisihkan untuk keluarga dekat. Berkat, merupakan sebutan untuk sebungkus nasi yang dibentuk seperti gunung, serta sepaket lauk. Berkat ini kemudian diantarkan ke saudara, baik satu dusun maupun beda dusun. Dulu, anak-anak senang jika diminta mengantarkannya, karena ada kemungkinan mendapatkan sangu dari saudara yang dikirimi berkat. 

Berkat yang dikirim, merupakan bentuk sedekah. Sedangkan sangu (biasanya berbentuk uang) merupakan bentuk kasih sayang si penerima berkat pada anak-anak yang mengantarkan.

Sungguh, ini merupakan tradisi, kreatifitas budaya sarat makna yang sudah ada sejak jaman dahulu untuk mempererat persaudaraan dan patut dilestarikan.

nasi dan lauk disatukan
Pada kenduri ini, warga datang membawa nasi lengkap dengan uborampe kenduri. Peyek, gudangan, dan terkadang ada yang melengkapi dengan potongan ayam jawa.

Semuanya dikebruk, disatukan dalam satu wadah, untuk kemudian dilakukan prosesi doa bersama. Penyatuan dalam satu wadah ini, dapat dimaknai sebagai bentuk kesetaraan antar manusia. Semuanya sama di hadapan Tuhan Yang Maha Tunggal, yang membedakan hanya amalannya saja. Doa ala orang jawa, yang terkadang kita harus berfikir dulu untuk mengetahui maknanya. Namun, demikianlah mereka. Doa tersebut, tidak tertulis, hanya dalam hafalan, sehingga terkadang ada yang terputus atau kehilangan makna, sampai kita tahu jika bertanya pada si empunya doa.

Doa-doa tersebut merupakan wujud kearifan lokal, pemahaman sebatas kemampuan atas lingkungan sekitar, kemudian diwujudkan dalam doa atau pengharapan.

berkat
Sebelum kenduri berakhir, akan ada paket khusus untuk anak-anak yang ikut prosesi. Mereka akan mendapatkan sepaket nasi lengkap dengan lauknya yang dibungkus dauh pisang atau jati.

Malam harinya, diadakan pertunjukan wayang kulit di balai desa. Ya.. rasulan biasanya merupakan gawe satu desa. Mereka urunan, untuk nanggap wayang.

Rasulan, memiliki banyak makna. Selain sedekah pada saudara, kasih sayang pada anak-anak, syukur atas rejeki yang diterima, serta bentuk kepasrahan pada kehendak Tuhan Yang Maha Tunggal. Pemaknaan pada rasulan yang tepat, dapat mengantarkan kita pada kearifan hidup sebagaimana diajarkan oleh para nenek moyang kita. Rasulan, merupakan wujud cara nenek moyang kita mendidik, dan memposisikan diri dalam lingkungan kehidupan.





Sumber foto: Di grup FB Ngliparkidul, kiriman Sebut Saja Paijo

Share:

Menyambut hari kemerdekaan 2017 ala kampung Ngliparkidul

Agustus, merupakan bulan keramat bagi bangsa Indonesia. Ketika saya dulu di bangku SD, cukup akrab dengan “HUTRI”, yang dituliskan pada genting rumah-rumah penduduk menjelang 17 Agustus. HUTRI, saat itu saya belum tahu jika yang benar adalah HUT RI, menggunakan spasi, yang berarti Hari Ulang Tahun Republik Indonesia.
suasana lomba voli plastik
Berbagai perlombaan, dilakukan sebagai sambutan. Kemeriahan oleh berbagai lapisan masyarakat dimunculkan. Mulai dari lomba serius, sampai lomba yang dianggap konyol. 

Di kampung halaman kami, Ngliparkidul, beberapa kegiatan dilakukan. Lomba voli yang menggunakan bola plastik, dengan peserta bebas usianya. Ada yang usia SMP, bercampur dengan pemain berusia lanjut. Akhirnya, permainan yang kocak menjadi tontonan menarik, hiburan rakyat menyambut hari merdeka.
sang juara, 
Bagi anak-anak SD dan TK, disediakan lomba ringan bagi mereka. Membawa kelereng menggunakan sendok, memasukkan paku dalam botol dan lainnya, dengan hadiah buku tulis atau semacamnya, yang tentunya diharapkan memacu mereka untuk rajin belajar.
Tahun ini, selain lomba voli plastik, lomba anak-anak, juga dilakukan pawai yang diikuti dusun-dusun dalam satu kelurahan. Oleh karena itu, ada dua persiapan yang dilakukan kampung kami.
Persiapan pertama, persiapan menyajikan materi pawai sesuai bagiannya. Tahun ini, bagian Ngliparkidul adalah miniatur kenduri, dan beberapa budaya lainnya. Persiapan kedua, kegiatan perbaikan jalan, pengecatan pagar, membersihkan daun-daun yang berguguran dilakukan agar jalan kampung nyaman dilihat.
Demikianlah, semua dilakukan dengan gotong royong, bersama-sama, tanpa membedakan usia. Pengorbanan dilakukan masing-masing, sembari memaknai pengorbanan yang dulu juga dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan.

aturan lomba voli

tim yang bermain

kerja bhakti membersihkan jalan


persiapan kirab

kontingen kirab

bersiap bertanding antar dusun

Sumber foto: dari grup FB Komunitas Ngliparkidul

Share:

Masjid-masjid di Ngliparkidul

Sebagai dusun yang 99% memeluk agama Islam, tentunya Ngliparkidul juga memiliki masjid. Namun, bagaimana masjid tersebut dapat berdiri, menjadi hal tersendiri yang menarik ditelusuri. Berikut urutan pembangunan masjid/mushola di Ngliparkidul.

Mushola pertama
Musholla ini terdapat di pekarangan Bapak Redjono, atau mBah Tondo. "Musholanya masih dari gedek", demikian Pak Sangadi mengingat masa itu. Masih menurut Pak Sangadi, waktu musholla itu ada, orang yang menggunakan masih sedikit. mBah Tondo (orang tua/mertua Pak Redjono) dan mBah Amat adalah generasi awal yang menghidupkan Islam di Ngliparkidul.

Musholla ini, akhirnya dipindah di sebelah timurnya, di pekarangan Pak Mardi, seperti tampak di samping. Mushola pertama sudah tidak ada penampakannya. Mushola hasil pindahan ini, saat ini merupakan mushola tertua di Ngliparkidul. Terletak di tanah (alm) Pak Mardi, RT 1/RW2.


Masjid Nurul Iman lama
masjid lama
Masjid ini berdiri di wilayah RT2/RW2.  Saat ini, jamak disebut dengan masjid lama. Masjid ini merupakan masjid pertama yang didirikan di Ngliparkidul. Konon, kabarnya berdiri pada tahun 1980-an. Masih samar, tapi pendirian masjid ini masih melibatkan dukuh Mbah Merto dan Pak Wasiyo. Meski belum jelas, apakah posisi Mbah Merto masih dukuh, atau sudah diganti Pak Wasiyo. Masjid berdisi setelah pendirian Balai Dusun.

Masjid didirikan di atas tanah wakaf Mbak Pawiro Sentono. Didirikan dengan swadaya warga dusun. Kabarnya warga bergotongroyong rombak  kayu putih, untuk modal membeli bahan pembangunannya. Periode pertama, masjid ini beralaskan semen, kemudian diganti tegel hitam, hingga akhirnya pada pemugaran terakhir, diperbaiki dengan lantai keramik, seta perbaikan tembok plus, penghitungan ulang arah kiblatnya.

Sebagai masjid pertama, maka dahulu semua kegiatan keislaman dipusatkan pada masjid ini. Pembagian Zakat, sholat jumat, qurban, pengajian dan lainnya.

Saya masih ingat, pengajian pada jaman dahulu menggunakan penerangan lampu minyak, menggunakan papan tulis hitam dan kapur tulis putih. Pengajian remaja dilakukan pada malam Minggu. Dan jika libur, biasanya Pak Sangadi, selaku pengisi pengajian menuliskan pengumuman di papan tulis hitam tersebut.

Pengajian jaman dahulu, dilakukan dengan menghafal surat pendek, dengan target tertentu. Saya hafal surat al Balad ya dari pengajian tersebut, dari proses mendengar. Saya belum bisa baca, cuma mendengarkan saja. Selepas sholat taraweh, juga diadakan tadarus. Beberapa remaja membaca Quran. Selain itu, pujian menjelang sholat juga dilakukan di awal-awal pengelolaan masjid ini.

Mushola Kulon sawah utara
Berdiri di sebelah barat rumah Pak Sambiyo, berdiri di atas tanah Mbah Somejo  di RT.4/RW.2 Meski tidak secara langsung menggantikan, namun sebelum mushola ini didirikan, pernah diadakan sholat taraweh di rumah Bp. Podo Miyanto yang letakknya di utara musholla ini. Saat itu, rumah ditempati oleh Bp. Giran/Bu Giyati.

Mushola Kulon sawah sebelah selatan
kulon sawah selatan
Berdiri di utara jalan, di pekarangan Pak Margiyo, di wilayah RT.5/RW2. Musholla ini berdiri sebelum masjid Nurul Iman baru, dengan ukuran mungil sebagai tempat warga sekitar menunaikan sholat 5 waktu.

Masjid Nurul Iman baru
masjid baru
Masjid Nurul Iman baru, merupakan masjid terakhir yang dibangun hingga saat ini, berdiri di atas tanah wakaf Pak Wariban. Masjid ini terletak di RT3/RW2,  sebelah barat jalan utama dusun, sehingga cukup strategis. Karena strategisnya masjid, masjid pernah disambangi Bupati Gunungkidul, Ny. Badingah dalam rangka safari taraweh.
Masjid ini dibangun atas bantuan dari negara timur tengah. Pembangunannya, selain diserahkan pada pengembang, juga dibantu warga sekitarnya.

Masjid ini terletak berdekatan dengan area taman kanak-kanak yang dikelola olah Aisyiah. Sehingga, masjid bisa digunakan pula untuk praktik-praktik keagamaan bari para generasi baru di Ngliparkidul ini.

Sholat Jumat
Meskipun terdapat beberapa mushola, namun untuk pelaksanaan Sholat Jumat di tingkat dusun tetap dilaksanakan di masjid baru sebagai masjid utama. Karena banyaknya jamaah, terkadang masjid tidak sanggup menampung, sehingga jamaah sampai di halaman.


Share:

Koperasi Margodadi Ngliparkidul: bukan koperasi main-main

Sumber gambar: Infogunungkidul.
Hal yang membanggakan, koperasi yang ada di Dusun Ngliparkidul itu mendapatkan pengakuan berupa penghargaan tingkat nasional.

Dikutip dari Gunungkidul Post, Koperasi Margodadi mendapatkan penghargaan kategori Kelembagaan Ekonomi Petani.

Mudakir, ketua koperasi menyampaikan bahwa koperasi ini telah memiliki gedung sendiri, dan 75% pembangunannya adalah swadaya anggota. Koperasi telah berusia 33 tahun, 60 anggota dan omset 716 juta per bulan.

Dilansir Infogunungkidul, koperasi ini dibangun tahun 1984, dan menjadi koperasi tani ternak di tahun 2014 dengan landasan hukum Nomor 09/518/BH/XV.2/I/XI/2014. 


Badingah, selaku bupati Gunungkidul, sebagaimana diberitakan oleh GunungkidulPost, sangat mengapresiasi keberhasilan ini. Apa yang dicapai adalah bentuk kontribusi warga untuk menjadikan Gunungkidul semakin maju dalam hal tujuan wisata dan budaya. 

Pak Sugito, selaku dukuh Ngliparkidul yang juga sebagai anggota koperasi berkomentar, "Untuk (koperasi) Margodadi saya sangat senang dan mendukung untuk kemajuan kelompok, ke depannya biar bisa menyejahterakan anggota dan semua warga masyarakat umumnya.".

Warga dusun secara umum juga senang dengan keberhasilan ini. Di grup diskusi warga Ngliparkidul, beberapa warga perantauan, di antaranya Indriyanto, Supardi, Dwi Handoko, Bagus, dan juga Gunawan Peni tidak lupa memberikan jempolnya dan mengucap syukur atas keberhasilan ini. 



Referensi:
https://gunungkidulpost.com/sabet-gelarjuara-koperasi-tani-temui-bupati/
https://www.instagram.com/p/BZwFH5GA-xI/?r=wa1
https://infogunungkidul.com/detail.php?id=1760/Putus-Mata-Rantai-Blantik-Nakal,-Koperasi-Margodadi-Juara-1-Tingkat-Nasional

Share:

Nanggap seni wayang kulit: wujud penghargaan pada seni adiluhung warisan leluhur

oleh: Purwoko
Semoga damai dan tenteram, menyelimuti Karang Kadempel
NGLIPARKIDUL - Kamis sore (27/7), selepas Isya’, dengan beberapa pertimbangan, saya memantapkan diri untuk pulang ke Ngliparkidul. Sore itu, sesuai kabar di whatsapp grup ndeso saya, ada pertunjukan wayang kulit, dalam rangka peresmian renovasi balai dusun. Kabarnya, dihadiri atau diresmikan langsung oleh Bupati Gunungkidul, Bu Badingah.

Sampai di kecamatan Nglipar, sekitar pukul 9 malam. Mampir sejenak beli roti bakar, sambil melihat suasana malam di ibu kota kecamatan. Pusat kecamatan, namun konon kabarnya sepi saat malam hari. Setelah mengikuti jalan yang membelah kuburan Nglipar, sampailah saya di balai dusun, melewati sisi utara. Tidak menyangka, ternyata kerumunan orang telah memenuhi jalan, kendaraan pun juga parkir di kiri kanan jalan. Karena rumah asli saya ada di sisi selatan balai, maka saya balik kanan, dan menuju balai lewat sisi selatan. Keadaannya pun sama, ramai manusia. Setelah parkir, saya mendekat ke balai.

Kiri-kanan jalan tampak pedagang menggelar dagangannya, seperti halnya keramaian dusun lainnya, rasulan, atau orang yang punya gawe kemudian nanggap kesenian.

Tampak, Bu Badingah sedang memberikan sambutannya. Apresiasi, harapan, disampaikan pada warga, baik terkait balai dusun, posyandu, maupun kegiatan kemasyarakatan lainnya. Warga antusias mendengarkan. Mereka duduk di kursi yang telah disediakan, serta duduk di jalan depan balai, ada pula yang berdiri sambil jagongan dengan kiri-kanannya. Setelah sambutan, prosesi pemotongan pita, tumpeng, kemudian dilanjutkan pertunjukkan wayang kulit oleh dalang Ki Cermo Hadi Sutrisno dari Karang Poh, dengan lakon Wahyu Katentreman.


####

Ini adalah kali pertama saya nonton wayang semalam suntuk, dengan niat kuat ingin mengikuti cerita wayang. Menonton serial Mahabarata, membuat saya sedikit tahu bahwa cerita wayang memang mengandung makna pelajaran hidup. Namun, kurangnya pengetahuan saya tentang wajah setiap tokoh wayang, menjadikan saya kesulitan mengikuti jalannya cerita. Cerita wayang juga saya peroleh dari cerita kakek saya, tentang Wisanggeni. Karena sewaktu kecil saya pernah terbakar, maka kakek saya nanggap wayang dengan lakon Wisanggeni ketika saya dikhitan. Meski, cerita Wisanggeni pun tidak sepenuhnya saya tahu.

Cerita malam itu, seputar Kyai Semar yang hendak diperebutkan Pandawa dan Korawa. Semar hanya mau ikut pada pihak yang memiliki wahyu katentreman. Sangkuni (Sengkuni), berniat menangkap paksa Kyai Semar dan dibawa ke Astina. Tentunya, adegan Sengkuni ini, khas dan dibumbui dengan dialek lucu Sengkuni yang bisa memancing tawa penonton. Kalau anda melihat film Mahabarata, pasti kesal dengan sikap dan tata bicara Sengkuni, namun akan beda dengan cerita wayang Jawa. Anda akan tertawa terpingkal melihat adegan seputar Sangkuni.

Sebagaimana pertunjukkan wayang gagrak baru, terdapat sesi Limbukan. Limbukan, yang diselingi Campursari yang dimulai sekitar pukul 11 malam sampai 12.30-an itu, membuat semua penonton merengsek ke depan. Demikian pula Goro-goro, yang biasanya dimulai pukul 1 atau dua pagi, yang berisi dialog ponokawan yang kadang konyol, namun juga memuat falsafah hidup dari Kyai Semar.


Alunan musik Jawa, disertai syair Sinom Parijoto, dan semacamnya, terasa membawa kedamaian. Bagi yang memiliki minat budaya, musik dan syairnya, jauh di atas musik lainnya.

Sangkuni bersembunyi agar tidak terlihat Semar, dengan harapan akan mudah menangkap Semar dan membawa ke Astina. Sampai akhirnya, ternyata dengan berbagai perjuangan, wahyu katentreman justru berhasil diperoleh Pandawa, tanpa Sangkuni mengetahui karena dia masih bersembunyi. Ketika orang Astina memberi kabar kepada Sangkuni, barulah dia kaget.

“Njuk kapan Astina saged menang saking Pandowo?” begitu kata Sangkuni menahan kecewa. Dia pun akhirnya lari ke Astina, ketakutan dikejar ksatria Pandawa.


Semar, dan ksatria Pandawa berkumpul di Karang Kadempel. Semar memberi wejangan, dengan harapan semoga Karang Kadempel dapat menjadi daerah yang tenteram, aman, dan penuh keberkahan.

Dalang menutup pertunjukan, dengan memainkan sepasang wayang golek untuk beberapa saat. Sampai akhirnya, selesai dan alat tabuhan di gletekke para wiyogo. Spontan, saya bertepuk tangan, diikuti beberapa orang penonton yang masih bertahan hingga dini hari itu. Memberi penghargaan pada Ki Dalang, yang saya rasa harus dilakukan. Semua alat tabuhan diletakkan, wiyogo meninggalkan arena pertunjukkan. Dalang berdiri dan berjalan ke luar arena pertunjukkan.




Saya menghampiri Ki Dalang yang sedang bersalaman dengan Pak Dukuh dan panitia. Saya minta foto bersama.



####

Malam itu, saya benar-benar merasakan kegembiraan. Orang boleh menyebutnya nostalgia, karena
memang salah satu yang saya anggap sangat berharga adalah ketemu orang tua, saling menyapa, satu kerumunan, bersama-sama menikmati hiburan ala desa, merasakan sesuatu yang sangat lama tidak saya rasakan. Asap rokok bermerek, ataupun rokok lintingan yang membumbung di udara, tidak jadi soal. Dimaklumi dalam pertunjukan wayang seperti ini. Memang, akhirnya hanya tersisa beberapa penonton saja sampai detik akhir pertunjukkan. Salah satunya Pak Dukuh yang tetap setia menemani warganya.


Pak Dukuh, bahkan dengan ramahnya meminta saya ke dapur, diajak membuat minuman atau sekedar makan lemper yang masih tersisa. Tawaran makan besar juga disampaikannya. “Mas Koko di ajak mangan kono”, begitu katanya pada saya dan Kang Giyono, yang sebelumnya bersama saya menikmati wayang di kursi yang mulai ditinggalkan penonton. Karena sudah kenyang, setelah sebelumnya nongseng bareng Lek Wasiran, terpaksa saya tolak tawaran tersebut. Di dapur, saya membuat kopi, dan makan 3 buah lemper. Saya lihat, Pak Dukuh dengan tanpa gengsi membuat minumannya sendiri. Air hangat dengan gula batu dan beberapa buah jeruk nipis. Agaknya untuk sekedar obat rasa capek yang jelas tergambar di wajahnya, serta mengembalikan suaranya yang agak parau.

“Pak Dukuh kui kok ora ono sing ngladeni?”, komentar seorang kawan di WAG. Tapi begitulah Pak Dukuh, yang membuat minumannya sendiri. Pak Dukuh yang egaliter dan melayani. Semoga..

Di dapur itu pula, saya berbincang dengan Pak Tukino, yang tinggal di timur balai, tentang pembangunan Balai Dusun. Balai dusun ini adalah balai dusun pertama di kelurahan Nglipar. Informasi ini menguatkan informasi yang sebelumnya saya peroleh dari Pak Sukiyo lewat Gunawan, anaknya. Pembangunan dilakukan pada masa Dukuh Merto. Beberapa tokoh yang waktu itu menjadi garda depan pembangunan adalah Pak Harto, Pak Mardi (alm).

“Saiki lak gari nglestarekke” (sekarang kan tinggal merawat saja), demikian katanya.

Semoga, dengan acara malam itu, dengan doa-doa dari Kyai Semar, agar Karang Kadempel menjadi daerah yang tenteram, damai, aman, sejahtera menjadi terwujud pula di Ngliparkidul.


####

Pak Dalang, setelah foto bersama itu, meminta saya menyimpan nomor handphonenya. “Saya menyadari cerita adiluhungnya wayang, setelah usia 30 ke atas ini, Pak” merupakan kalimat yang sempat terlontar dari mulut saya kepada Pak Dalang. Mungkin dia kaget, kok ada pemuda yang begitu terus terang kepadanya terkait pewayangan.

Keputusan mengundang wayang kulit, bagi saya sangatlah luar biasa. Di saat tren syukuran dengan mengundang kesenian yang tidak layak tonton warga, tidak layak tonton bagi anak-anak, namun Ngliparkidul, pada peresmian balai dusun ini tetap mengundang wayang. Penonton yang tidak bertahan sampai akhir cerita, bisa dicarikan solusinya.

Keputusan mengundang wayang kulit, adalah keputusan yang meneguhkan bahwa syukuran balai dusun ini adalah syukuran seluruh warga dusun, tidak berbatas usia. Sehingga hiburan yang dihadirkan juga harus lintas usia. Menghargai seni leluhur, yang harus dilakukan oleh generasi penerus.


Salut dan hormat saya untuk semua panitia.

Sebentar saya membantu panitia merapikan kursi, kemudian pamit, karena adzan Subuh sudah berkumandang. Setelah menunaikan ibadah Subuh di masjid Nurul Iman, saya kembali ke Kalasan, Jogja. Tiada rasa kantuk selama perjalanan, mungkin ini efek dari doa Kyai Semar pada Karang Kadempel.



Hari terakhir bulan juli duaribu tujubelas
enam, sembilan menit, pagi hari

Share:

Trending

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts