Konco Tani Yen Nyawang Tandurane
Nyambut Gawe Awak Sayah
Seneng Atine
(Konco Tani, Waljinah)
Akhir musim kemarau dihabiskan untuk menyebar rabuk, rabok, pupuk di tanah yang akan digarap. Dengan harapan tanah menjadi gembur, subur, dan siap ditanami.
Mereka dan tanah, sudah seperti sedulur, kadhang sinarawedi, sahabat karib yang sulit dipisahkan. Mereka saling menjaga, memberi dan menerima.
ngorek'i |
"Arep nang ndi, Yu..? tanya lek Paijem.
"Wur kacang neng kidul mbaon, Lek".
Demikianlah, percakapan mereka ketika berpapasan, atau melintas di depan rumah tetangga. Basa-basi yang tidak akan basi. Begitulah cara mereka membangun keakraban dan kemesraan. Mereka asyik, masyuk, dan mabuk dalam kegembiraan. Pesta tanam yang dilanggamkan dalam lagu Kanca Tani sebagaimana didendangkan oleh Waljinah.
###
"Sesok arep kelompok, Kang. Ora kuat pirang-pirang kedhok, gur tak garap karo bathih (besok mau saya undang kelompok untuk membantu, saya tak kuat mengolah jika hanya berdua dengan istri)", seloroh Kang Kromo. Dia tinggal berdua dengan istrinya, yang keduanya sudah menginjak usia renta, senja. Kulitnya telah keriput, pada wajahnya terlihat kerutan yang menggambarkan usaha mbudidaya rejeki untuk keluarga. Sementara ada banyak ladang yang harus digarap. Anak-anak mereka sudah merantau semua ke kota, dan pulang satu kali setahun.
Kang Kromo tetap setia dengan tanah ladangnya, yang dari sanalah rejeki mengalir, termasuk untuk nyekolahke anak sampai berhasil dadi uwong. Meski akhirnya, setelah berhasil, anaknya merantau ke daerah lain, golek pangupo jiwo di kota. Meninggalkan Kang Kromo dan Mbok Kromo berdua saja di rumah. Kang dan Mbok Kromo tetap gembira. Paling tidak anak-anaknya sudah mau kirim kabar, kirim gambar cucu lewat whatsapp, syukur telepon atau video call.
Sumber foto: Dinmaz Peghoek
Video oleh Setyo Budi, diunggah oleh Purwoko