Blog ini, didedikasikan untuk merawat sejarah Ngliparkidul, namun dengan tetap memandang ke depan. Agar generasi Ngliparkidul memiliki masa depan yang lebih cerah dan terarah, namun tak tercerabut dari sejarah yang telah membentuknya.

ccc
  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Bu Mujilah: peletak dasar pendidikan 24 generasi di Ngliparkidul

Masa kecil tidak akan terulang. Jelas. Karena usia semakin tua, bergerak ke depan. Bukan semakin muda. Jatah semakin banyak dipakai, dan sisanya terus berkurang. Namun, apa yang kita alami di masa kecil tentunya akan ngefek pada kehidupan kita ketika dewasa.

Ada kenangan. Apapun bentuknya.

###

Begitu pula masa kecil kami di Ngliparkidul. Kenangan masa kecil, kadang menjadi target nostalgia ketika pulang kampung. Dari yang sifatnya hobi: mancing, bal-balan, dolanan; sampai pada hal yang sifatnya tanggungjawab: ngarit, panenan, gotong royong, atau sambatan.

Selain itu, ingatan kami juga akan memutar ulang tentang orang-orang yang berjasa pada masa kecil.

Memang tak bisa disejajarkan dengan Ibu, atau Bapak kami. Namun percayalah, jika tidak ada beliau, maka kami tidak memiliki sandaran untuk belajar banyak hal. Sebagai warga kampung, kami tidak bisa belajar semua hal dari orang tua. Mereka memiliki keterbatasan, sebagaimana orang kampung pada umumnya.  Ada hal-hal sesuai perkembangan jaman, yang kami perlu diberi pelajaran dari ahlinya.

Beliau dengan sabar menuntun kami mengerti lingkungan. Mengerti apa itu daun, pohon, buah. Atau mengajarkan kearifan melalui lagu-lagu dolanan. Memahami keagungan Tuhan melalui Pelangi-Pelangi. Menggantungkan cita-cita melalui lagu Bintang Kecil. Mengajari bertafakur melalui doa-doa. Mendidik hormat menghormati melalui jabat tangan, atau bicara kromo pada orang tua. Banyak lagi. Tak terhitung.

Bahkan mengajari kami cara cebok setelah buang air besar. Memakai kaus kaki dan sepatu. Mengajarkan cara makan menggunakan sendok, atau yang sepele: mengupas jeruk, misalnya. Dia pula yang memeluk kami ketika kami menangis keras karena marahan dengan teman. Atau menemani kami jika jemputan belum datang, bahkan bersedia mengantarkan kami pulang. 

Beliau tidak membeda-bedakan kami.

###

lokasi pertama TK di balai Dusun
Namanya Bu Mujilah. Guru TK yang mengabdi di kampung Ngliparkidul sejak 1986. Rumahnya berjarak 9 kilometer, di daerah Piyaman kecamatan Wonosari. Sehari-hari rute itu ditempuh dengan kendaraan umum. Bahkan, konon pada awal pengabdian, ditempuh dengan naik sepeda. Pagi hari harus segera berangkat.

Sementara kami, anak-anak kampung harus segera mandi, melawan dingin yang menusuk tulang. Kiklik’en. Mandi dikali, atau mandi di kolah belakang rumah yang minim pengaman. Intipan atau godaan simbah yang berangkat ke tegal, kerap kami dapatkan. Tapi menyenangkan. Air untuk mandi diambilkan Bapak atau Ibu kami dari sumber air di sungai. Menggunakan pikulan, klenteng, atau ember, ditempuh dengan jalan kaki.

Pakaian kami kenakan masih melalui bantuan Ibu atau Bapak. Baju dan celana. Tidak, atau tepatnya belum membudaya celana dalam bagi anak laki-laki. Mungkin karena itulah, insiden resleting kerap terjadi. Celana dalam bagi anak laki dikenakan setelah disunat. Sepatu pun hanya bagi yang punya. Jika tak ada, nyeker atau sendal jepit sudah sah.

Setibanya di sekolah, baik diantar maupun bersama teman-teman, kami menunggu senyum bu Mujilah muncul di ujung jalan. Jika telah tampak, kami berebut menjemput dan menyalami. Satu-satu, dengan sabar, semua anak didiknya akan kebagian sentuhan lembut  tangannya. Kamipun berjalan bersama menuju sekolah. Betapa menyenangkan, bukan?

TK itu bernama TK ABA (Aisyiah Bustanul Athfal) Nglipar III. Dinamakan demikian, karena yayasan payungnya ketika berdiri adalah Aisyiah. Sayap organisasi Muhammadiyah. Romawi III menunjukkan bahwa sekolah ini urut nomor 3 dalam pendiriannya di wilayah Desa Nglipar.

lokasi kedua di masjid
TK ABA Nglipar III itu beliau dirikan dengan penuh perjuangan, ditahun 1986. “Dulu saya bersama beberapa warga muter, menemui warga lainnya tentang ide ini”, beliau memulai cerita. Beberapa nama yang beliau sebut: Pak Tugimo, Pak Mardi, Pak Sangadi, Pak Sis. Hal ini tentunya tidak menafikkan bantuan pihak lainnya:  penjabat dusun, dan akhirnya dukungan para warga.  TK itu berdiri, menempati ruang tak terpakai di Balai Dusun. Terkadang menggunakan ruang posyandu, “Biyen tak gelarke kloso”. Posyandu itu sekarang masih ada. Memang kecil ukurannya, wajar jika tidak muat menampung anak-anak ketika itu.

Murid awal memang banyak. Hingga ruangan tak mampu menampungnya. Selain di posyandu, TK ABA ini juga pernah dititipkan di Masjid Nurul Iman lama. Di serambi belakang dipisahkan tembok, kemudian disekat. Perpindahan sementara ini karena balai dusun direnovasi. Setelah selesai renovasi, TK kembali ke Balai Dusun.

“Opo ya selamanya akan nebeng di Balai Dusun terus?”, demikian disampaikan Bu Mujilah pada tokoh masyarakat. Akhirnya proposal dibuat. Sepetak tanah wakaf warga menjadi target tempat dibangunnya TK. Setelah melalui perjuangan, TK mendapat bantuan. Berdirilah gedung TK yang saat ini ditempati.

Pada gedung yang baru ini, fasilitas sudah lebih lengkap. Ada ruang guru, kamar mandi, toilet, bahkan tempat bermain dengan beberapa wahana permainannya. 

###

lokasi sekarang, gedung sendiri
Selama mengajar, sejak 1986, Bu Mujilah ditemani oleh beberapa orang. Ada yang  membantu mengajar (orang desa mengenalnya dengan istilah: berjuang), sekedar menggantikan jika Bu Mujilah berhalangan, serta guru-guru generasi berikutnya.  Ada yang kemudian pindah, atau mengundurkan diri. Ada Bu Endang, (alm) Bu Tamiyem, Bu Tarmi, Bu Barni, Bu Sagiyem, dan Bu Wati. Tiga nama terakhir inilah yang saat ini melanjutkan mengelola TK. 

Bu Mujilah pensiun tahun 2010, setelah 24 tahun mengajar. Artinya ada 24 generasi yang lulus melalui polesan Beliau. Saat ini, dalam masa pensiun, Beliau bisa tersenyum bangga. Telah ada yang meneruskan apa yang sudah dirintisnya. Di sisi lain, anak-anak didiknya juga sudah mandiri, menempuh jalannya masing-masing.

Bu Mujilah bukan hanya berkesan untuk kami, mantan anak didiknya. Namun juga bagi warga Ngliparkidul. Beliau sudah dianggap seperti halnya warga dusun. Hajatan, kesripahan, atau apapun, Beliau akan hadir di tengah warga. Bagi Beliau, guru bukan hanya di ruang kelas. Namun apa yang dilakukannya, semata-mata untuk mendidik muridnya, bagaimana sebaiknya berinteraksi di masyarakat. Mengajar di TK ini, memang akan berbeda dengan mengajar di sekolah kota. Di TK ini guru hadir tidak hanya di ruang kelas. Tapi hadir di masyarakat. 

Masyarakat juga hadir di sekolah. Mereka ikut merawat, bukan hanya merawat fisik saja, namun juga mewarat keberlangsungan. Merawat budaya, sosial. Bagi masyarakat, merawat sekolah TK juga berarti merawat pendidikan untuk anak cucunya.

“Pas perpisahan, ya mbrebes, Mas. Ya piye ya, wis kaya keluarga dewe”. Beliau bercerita, bagaimana warga melepas “pensiun” Ibu dengan kesedihan, namun juga kebanggaan. Tentunya warga sangat kehilangan, orang yang puluhan tahun ikut mendidik anak-anak mereka telah memasuki masa pensiun.

“Kabeh sejarah TK, guru sik pernah ngajar, trus daftar siswa, lengkap tak tinggalke neng kantor TK”. Demikianlah, seolah beliau ingin mengatakan bahwa sejarah TK harus tetap dijaga dan dilanjutkan. 

Sekarang, mantan anak-anak didiknya, guru yang mengajar, warga dusun, yang harus meneruskan apa yang sudah dipancangkan tahun 1986 itu.

“Salam kangge Ibu, Mas”, komentar Sudaryanto, alumni tahun 1988/89. “Wah kelingan jaman mbolos sekolah”, sahut rekan seangkatan Sudar. 


Share:

Panen kacang menjelang kemarau

Kemarau menyapa. Tanah yang sebelumnya gembur, menjadi keras. Nelo. Hujan yang dinantikan tak kunjung datang. Padahal, di tegalan masih terhampar kacang yang belum dibedholi. Esok hari, kacang itu diharapkan bisa ditukar kiloan dengan selembar uang. Untuk sangu anak atau cucu berangkat sekolah.

Cancut taliwondo. Harus segera dipanen. Apapun risikonya...

Panas, terik matahari tak peduli. Dengan kudungan kain kusam, atau caping jowo mereka berjalan ke tegalan. Ada pula yang naik Onda modifikasi. Maklum, jauh jarak menuju tegalan itu. Apalagi jika pulangnya harus membawa sebongkok panenan kacang. Tentu berat. Onda sangat membantu mereka. Terkadang si suami naik Onda bersama sebongkok kacang, sementara si istri jalan kaki.

Demikianlah, tidak ada iri. Tidak ada kepenak dan ora kepenak. Semua ada porsinya masing-masing.

Begitulah keseharian warga Ngliparkidul yang tetap setia dengan tanah dan profesinya. Setia dengan siti, yang mewadahi tumbuhan untuk tumbuh dan menjadi lantaran kehidupan mereka, turun temurun.

###

Pagi itu, pada kesempatan pulang kampung, saya ingin merasakan (atau ekstrimnya membuktikan) kondisi di atas. Dengan sebuah gathul di tangan, serta alas kaki sendal ban, saya berjalan menyusuri jalan menuju tegalan. Jalan yang dulu kerap saya lalui. Namun pagi itu saya kaget. Jalan itu mati. Tak banyak orang melewati, sehingga semak belukar tumbuh mengganggu. Tilas tapak kaki pun hilang.

Sejak jalan ke tegalan dan hutan diperlebar dan perhalus, maka banyak orang menggunakan motor, tak lagi jalan kaki. Inilah yang menyebabkan matinya jalan setapak. Bahkan, ada sebuah jalan kebo alias lurung yang pada jaman kuno digunakan sebagai jalan ketika nuntun kebo, mati. Jalan itu berubah menjadi semak.

Tak sampai sepuluh menit, sampailah saya di tegalan. Jaraknya sekitar 300 meter dari rumah. Setelah mengingat dan memastikan tegalan warisan simbah, saya masuk. Kacang dan jagung tumbuh di tegalan.

Tampak tanah sudah nelo dan keras. Saya berusaha mencabut satu pohon kacang. Gagal. Kerasnya tanah, menahan biji kacang yang ada dalam tanah. Saya coba gunakan gathul.  Jika tak hati-hati,  justru biji kacang akan kena gathul, dan tertinggal atau pecah. Cuwil.

Ketiwasan. Gathul yang saya pakai lepas. Lecek. "Wah, gathule lecek'an kui, Mas". Sapa Lek Sumar yang sedang nyapu jalan. "Nggih, Lek".  Sayapun pulang. Mau ambil bendho atau gathul cadangan. Serta  bagor untuk wadah kacang, terutama yang sudah pithil.

Pagi itu, tak banyak yang saya peroleh. Tapi saya akan kembali lagi. Membawa bendho dan bagor.

###

Bendo dan bagor sudah saya bawa. Sesampainya di tegalan, kacang yang berhasil saya bedhol tadi saya wadahi. Kemudian saya lanjutkan mbedol kacang dibantu sebilah bendho. Lumayan, dapat tambahan. Meski akhirnya bendho itupun lecek juga. Ucul.

Saya menyerah. Saya putuskan untuk pulang. Sedapatnya.

"Nganggo banyu mas", demikian kata simbok tani lainnya. Memang demikian. Kadang, untuk mbedhol kacang di musim kemarau para petani harus menyewa disel, untuk nyedot air dari sungai. Air tersebut untuk membasahi tanah, agar kacang mudah dibedhol. Atau mereka berkorban nyelang air PDAM. Nyelang atau nyewa disel, tentunya butuh biaya.

Biaya ini akan mengurangi keuntungan mereka dalam memanen kacang.

Namun, itu tak jadi masalah untuk mereka. Kacang yang sudah tertanam, awoh harus diambil. Meski harus tuno. Jika tidak diambil, khawatir memolo. Kacang itu rejeki, nguripi. Menyia-nyiakannya tidaklah elok.

###

Sesampainya di rumah, ternyata ada tetangga berbaik hati. Mbah Suci, seorang simbah yang hidup sendirian di rumahnya, tepat di sebelah barat rumah kami. Seratus meteran jaraknya. Dia membantu mitili kacang tersebut satu persatu, sampai selesai.

###

Bapak datang dari masjid. Melihat saya hanya dapat sedikit, dia bertanya, "kok gur semono?". "Atos, Pak. Mpun sak ontene".

Saya pun istirahat, tidur. Bangun tidur, langsung mandi. Selesai mandi di utara rumah, saya lihat Bapak nyunggi kacang, plus nyangking ember, lengkap dengan gayungnya. Ternyata Bapak ke tegalan. Medhol kacang untuk oleh-oleh saya, kembali ke Jogja.

"Mangkeh kulo pithilane, Pak". Saya tak mau merepotkan Bapak lagi dengan kacang-kacang ini.

Sore itu, seplastik kacang mentah saya masukkan di jok motor. Menuju Jogja. Kacang aseli Gunungkidul. Mentes tur akeh isine.



Share:

Gubug bahagia: yakin! di desa tetap ada harapan

ditulis oleh: Purwoko
Gubug ini terletak di tepi jalan, di tengah hutan, sebelah selatan kampung saya. Di hutan Gelaran. Foto saya ambil pada sore hari, Ngad Pon tanggal 27 Ruwah 1951 Dal, dalam perjalanan ke kampung Ngregis; atau bertepatan dengan Minggu 13 Mei 2018 ketika saya pulang kampung, sowan Bapak.

Ini bukan gubug derita. Ini gubug kebahagiaan.

###

Kaki-kaki kokoh itu berayun beriringan. Tampak wajah tua mereka dimakan usia. Mbah Kromo, Mbah Simpen, Mbah Mangun, Mbah Jo, Mbah Par, Mbah Siyam, dan para simbah lainnya. Para simbah datang ke tengah hutan berjalan kaki. Jika berangkat siang, dan cucunya sudah pulang sekolah, diminta mengantar pakai onda. Ya. Onda, sebutan untuk sepeda motor, apapun mereknya. Di punggung para simbah putri terdapat buntelan. Isinya air minum yang diwadahi botol Akua. Serta beberapa potong pisang atau puli untuk penangkal lapar.
Mereka menuju tujuannya masing-masing. Tidak akan tertukar. Tujuan pertamanya: gubug. Di sinilah bekal mereka letakkan. Di sini pula senjata mereka disimpan. Gathul, pacul, arit dan semacamnya.
Di samping gubug ada sepetak tanah negara yang dikelola warga. Ditanami berbagai palawija: kacang, jagung, telo, dan jika ada yang sangat subur dan cukup air, ditanami padi. Oia, tak lupa suket kolonjono, untuk pakan harta karun mereka: ternak sapi atau wedhus.
Para simbah itu datang untuk menengok tanamannya, sekedar matun, atau babat suket kolonjono.
Gubug ini digunakan untuk berteguh dari panas, atau guyuran hujan. Untuk istirahat siang selepas matun, sambil membuka bekal. Atau untuk menikmati makan siang kiriman keluarga. Nasi thiwul, dan jika masih ada stok akan dicampur nasi putih; sayur lombok ijo, tempe goreng, dan sejumput gudangan
Anda tahu gudangan?. Gudangan merupakan jenis lauk. Terdiri dari berbagai sayuran yang dicampur dengan sambel kambil. Tentunya, sayuran ini tinggal memetik di samping rumah. Kambil atau kelapa tinggal menek saja dari pohon di depan rumah.

Jika tak membawa bekal, cukuplah mereka mbedol satu pohon ketela yang dirasa sudah ndaging. Kemudian mengumpulkan beberapa ranting kayu,  dibakar. Ketela yang sudah dibedol tadi, dimasukkan ditengah api. Diblusukke. Setelah ditunggu beberapa waktu, pasti matang.

Jika ada sesama, maka tak segan mereka memanggil, "ngunjuk riyin, Kang". Atau, "monggo dhahar, Yu". Dan seterusnya. Mereka rela berbagi bekal. Tak akan rugi. Justru mata berbinar jika bekal yang dibawa ludes. Itu berarti ada berkah dikemudian hari.
Bagi para simbah Kakung, biasanya istirahat itu dilengkapi dengan sebatang udud lintingan. Paduan dari mbako yang dibungkus segaret widjoseno, klembak, wur, cengkeh. Kadang ditambah sedikit menyan ududan. Bagi yang ada tabungan lebih, udud lintingan ini tergantikan rokok pabrikan. Bagi simbah putri, selembar sirih membungkus enjet, serta sebundel mbako susuran menjadi pelengkap. Sesekali membuang ludah merah hasil proses "nginang'.

Sambil istirahat, mereka membincangkan macam perkara. Dari tanaman, atau anak cucu yang sudah menginjak dewasa. Atau tentang kesendirian mereka.

###

Sepetak tanah negara dan gubug ini merupakan satu kesatuan. Dia tidak bisa dipisahkan. Padanya ada pula sepetak harapan untuk makan esok hari.
Mereka tetap semangat, meski ada pertanyaan mendasar pada diri mereka: siapa yang hendak meneruskan?

###

Ah, itu pertanyaan yang sangat mendalam. Jangan khawatir, Mbah. Akan selalu ada yang meneruskan. Bukan karena mereka menyerah pada jaman, namun karena mereka yakin di desa tetap ada harapan.


Bersambung...

Sambisari, 14 Mei 2018
selepas subuh, pagi hari


Share:

Trending

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts