Blog ini, didedikasikan untuk merawat sejarah Ngliparkidul, namun dengan tetap memandang ke depan. Agar generasi Ngliparkidul memiliki masa depan yang lebih cerah dan terarah, namun tak tercerabut dari sejarah yang telah membentuknya.

ccc
  • This is default featured slide 1 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 2 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 3 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 4 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

  • This is default featured slide 5 title

    Go to Blogger edit html and find these sentences.Now replace these sentences with your own descriptions.This theme is Bloggerized by NewBloggerThemes.com.

Puthul dan ungkrung jati: berkah, gizi, lan rejeki kanggone warga Ngliparkidul

Menjelang musim hujan, meski belum begitu sering, ada harapan baru bagi warga Ngliparkidul. Mereka akan menikmati makan pagi, siang, sore dan malam mereka dengan lauk yang tidak setiap hari ada. Ya, lauk puthul dan ungkrung atau ulat jati.

———

Sore itu, menjelang Magrib, tampak Kang Dadhap bergegas menuju kebon di samping sungai. Sejurus kemudian dia khusyu’ di bawah pohon jati, mahoni, atau sambi. Tangannya begitu cekatan nyekel hewan kecil agak bulat yang menempel di daun atau di batang pohon. Menjelang sore tadi,  gerimis turun. Air gerimis   membuat hewan ini muncul menampakkan diri , menyerahkan diri untuk “ditangkap”. Itulah puthul, hewan kecil namun mberkahi, bergizi dan ngrejekeni bagi warga.

Bukan hanya puthul, musim hujan juga membawa rejeki lain untuk warga.

***

“Hoei, tangi-tangi. Ndang subuh, trus nang kali”, simbok tua (nenek) membangunkan saya. Saya pun segera cuci muka, wudhu dan menunaikan Subuh. Kemudian bergegas mengambil botol bekas air mineral yang sudah saya siapkan sejak sore sebelum tidur, mengikuti langkah simbok tua. Kami menuju ke sungai.

Pagi itu, sudah banyak orang berkumpul di sungai samping timur rumah. Hampir semuanya mendongak ke atas, tepat di bawah rerimbunan pohon jati. Ada yang membawa plastik,  trempolong, botol kosong air mineral, dan semacamnya. Mereka menanti ulat jati yang sudah berumur, turun dari daun jati. Tampak di samar ulat jati turun menggunakan liurnya, persis seperti pemanjat tebing terjun bebas menggunakan alat pengaman. Mak tlereng…… Ulat ini langsung masuk di wadah yang mereka bawa.


Di dalam wadah itu ulat berkumpul. Warna mereka hitam, kadang ada yang bloreng di atasnya. Bagi yang tak biasa, tentu akan menakutkan. Ulat itu bergulat dalam wadah, tapi sia-sia saja, ulat-ulat itu tak bisa keluar. Setelah ulat masuk, kemudian wadah ditutup rapat. Ulat itu mendapat kesempatan keluar ketika wadah dibuka untuk nadahi ulat yang baru turun. Saya pun harus menghalau ulat itu masuk wadah kembali.

Setelah matahari menampakkan diri, saya diajak pulang. Saya harus segera mandi dan sekolah. Ulat hasil buruan saya berikan ke mamak, untuk dimasak. Siang nanti, sepulang sekolah saya akan makan siang lawuh ulat goreng. Atau mungkin sayur lombok ijo campur ungkrung (kepompong ulat jati).

###

Lain waktu, ketika hari menjelang siang, atau sore hari, ada pemandangan menarik yang tidak biasanya. Warga tampak duduk khusyu’ di kebon,  di bawah pohon jati. Siang itu tampak jelas, pohon jati yang di pagi buta didatangi warga, ternyata sudah tak punya daun lagi. Habis. Daun itu dimakan ulat, dan ulat itu sekarang diburu warga.

“Oleh urung, Kang?”, tanya Suto pada Noyo. Tampak, Noyo memainkan gagang kayu kecil, sepanjang 20cm. Mengorek tanah, daun, atau bebatuan. Terkadang senyum tersungging di bibir Noyo. Tangannya cekatan merobek daun dan mengambil ungkrung yang menempel. Atau terkadang masih berbentuk ulat, belum sepurna menjadi ungkrung. Tampak pada plastik yang dia pegang, sudah terisi lebih dari setengah. Campur antara ulat dan ungkrung.

“Ini oleh setengah plastik, Kang. Lumayan iso digoreng karo dinggo campuran jangan lombok”. Noyo memperoleh setengah plastik, dia akan berikan pada istrinya untuk digoreng, atau dicampur sayur lombok ijo. Sebagai teman nasi thiwul, tentunya sangat nikmat. Apalagi, jika dibuntel, dibawa ke ladang untuk makan siang ketika istirahat nggarap sawah, menanam, atau matun.

“We, lha. Wis to sasak tho kene iki”, Suto bertanya. Tampaknya Suto harus mencari tempat lain. Tempat yang dia datangi sudah disikat habis oleh Noyo.

“Iyo, Kang. Wis tak wolak-walik mau. Lah sampeyan ora kerjo, po?. Jare nggarap neng nggone juragan kayu”, Noyo menjawab pertanyaan Suto sekaligus bertanya balik. Suto memang kesehariannya buruh bangunan. Dia buruh bangunan pilihan. Garapannya bagus, juga tertib. Jam 8 sudah mulai, jam 17 baru pulang. Dia tidak udud, sehingga mengurangi pengeluaran yang punya gawe. Banyak orang menggunakan tenaganya, bahkan rela antri jika Suto sedang ada garapan lain.

“Iyo, kang. Aku njaluk libur. Meh golek ungkrung. Jarene sekilo nganti 100 ewu je. Sopo reti iso nomboki le prei, tur iso dinggo lawuh”, Suto menjawab. Dia minta libur, cari ungkrung yang hanya setahun sekali. Harganya yang terkerek naik hingga ratusan ribu diharap bisa nambal liburnya, sekaligus untuk lauk keluarga.

####

Itulah fenomena musiman di Gunungkidul, Ngliparkidul khususnya. Puthul dan ulat jati akan berubah menjadi lauk yang luar biasa nikmat. Memasakknya bisa bermacam cara. Mulai dari cara konvensional di goreng, dicampur untuk sayur lombok ijo. Atau disambel kambil, bothok, atau dilinthing.

Bisa dipakai lauk, atau diganyang sebagai teman ngopi atau ngeteh. DI siang hari, sore, atau malam hari sambil nonton program ketoprak setiap malam selasa. Akan lebih seru jika ketoprak itu sayembara, dengan pemain terkenal macam Gito-Gati, Bambang Rabies atau mbok Beruk.

Puthul dan ulat jati, apalagi ungkrung ulat jati rasanya nikmat. Jika diminta  memberi permisalan, sangat sulit. Sulit sekali. Dia lebih nikmat dari daging sapi, bahkan direndhang sekalipun. Jauh lebih nikmat. Apalagi dengan bandingan hamburger, hot dog, donat. Jauh lebih gurih.


###

Kini, warga perantauan Nglipakidul yang ada dinegeri manca sangat merindukan “rasa” ulet atau ungker jati ini. Maklum, di kota tidak mungkin mendapatkannya. Kalau toh ada pohon jati, kemungkinan kecil dimakan ulat jati. Kalau toh dimakan, tentunya tak sampai hati, atau tepatnya malu jika harus munguti ulat kemudian dimasak. Apa kata orang nantinya.

Mereka rela pulang ketika musim puthul dan ulat jati. Ikut mencari sambil bercengkerama dengan warga lain, cerita tentang kota, pekerjaan, atau mungkin lowongan kerja. Siapa tahu ada sesama warga yang bisa ikut nunut, merantau ke kota.

[ selesai]

sumber foto: grup WAG Ngliparkidul
Share:

Miwiti tandur: saben dinane wong tani ing Ngliparkidul

E e ebo Senenge 
Konco Tani Yen Nyawang Tandurane 
Nyambut Gawe Awak Sayah 
Seneng Atine
(Konco Tani, Waljinah)

Akhir musim kemarau dihabiskan untuk menyebar rabuk, rabok, pupuk di tanah yang akan digarap. Dengan harapan tanah menjadi gembur, subur, dan siap ditanami.

Baca: (ng)rabok

Ketika musim hujan datang, maka cancut taliwondho, para kadang tani tumadhang ke sawah ladhang. Siap-siap nandhur. Diawali dengan maculi, ngoreki, agar tanah menjadi abyur, sehingga pupuk kandhang yang sebelumnya disebar tercampur sempurna dengan tanah. 

Dulu, proses ini dilakukan dengan mluku menggunakan hewan ternak. Pada umumnya sapi lanang dewasa yang kuat. Dari sapi ini pula sebenarnya pupuk didapatkan. Sapi -> pupuk -> sawah -> mluku -> sapi lagi. Proses mluku menggunakan  alat yang disebut luku yang ditarik sapi. Setelah tanah diluku, kemudian ditanami, atau disebari bibit padi. Untuk menutup bibit padi, dilakukan proses nggaru.

Nggaru mirip seperti mluku, menggunakan sapi. Namun alatnya yang berbeda.

Kini, di jaman modern, karena perkembangan jaman, owah gingsiring jaman, mluku dan nggaru dilakukan mesin. Modalnya mesin dan bahan bakarnya BBM, bukan lagi dedaunan untuk si sapi. Sapi pensiun.

mluku

Kegiatan bertani ini, dimusim hujan, dilakukan setiap hari. Maklum, para kadhang tani ini tidak sedikit yang memiliki sawah ladang di berbagai tempat. Pirang-pirang kedhok. Sehingga proses menanamnya harus antri. Umumnya di awal penghujan ditanami padi, kemudian periode berikutnya ada ketela, kedelai, kacang dan lainnya.

Mereka dan tanah, sudah seperti sedulur, kadhang sinarawedi, sahabat karib yang sulit dipisahkan. Mereka saling menjaga, memberi dan menerima.

ngorek'i

"Arep nang ndi, Yu..? tanya lek Paijem.
"Wur kacang neng kidul mbaon, Lek".

Demikianlah, percakapan mereka ketika berpapasan, atau melintas di depan rumah tetangga. Basa-basi yang tidak akan basi. Begitulah cara mereka membangun keakraban dan kemesraan. Mereka asyik, masyuk, dan mabuk dalam kegembiraan. Pesta tanam yang dilanggamkan dalam lagu Kanca Tani sebagaimana didendangkan oleh Waljinah.

###

"Sesok arep kelompok, Kang. Ora kuat pirang-pirang kedhok, gur tak garap karo bathih (besok mau saya undang kelompok untuk membantu,  saya tak kuat mengolah jika hanya berdua dengan istri)", seloroh Kang Kromo. Dia tinggal berdua dengan istrinya, yang keduanya sudah menginjak usia renta, senja. Kulitnya telah keriput, pada wajahnya terlihat kerutan yang menggambarkan usaha mbudidaya rejeki untuk keluarga. Sementara ada banyak ladang yang harus digarap. Anak-anak mereka sudah merantau semua ke kota, dan pulang satu kali setahun.

Kang Kromo tetap setia dengan tanah ladangnya, yang dari sanalah rejeki mengalir, termasuk untuk nyekolahke anak sampai berhasil dadi uwong. Meski akhirnya, setelah berhasil, anaknya merantau ke daerah lain, golek pangupo jiwo di kota. Meninggalkan Kang Kromo dan Mbok Kromo berdua saja di rumah. Kang dan Mbok Kromo tetap gembira. Paling tidak anak-anaknya sudah mau kirim kabar, kirim gambar cucu lewat whatsapp, syukur telepon atau video call.



Sumber foto: Dinmaz Peghoek
Video oleh Setyo Budi, diunggah oleh Purwoko

Share:

(ng)Rabok

Menjelang musim hujan, para petani menyiapkan sawah ladangnya. Tentunya agar ketika hujan datang, sudah siap ditanami berbagai macam tanaman. Tidak terkecuali warga dusun Ngliparkidul.

Berbagai persiapan dilakukan, salah satunya memberi pupuk, alias ngrabok. Rabok, rabuk, pupuk. Ngrabok berarti melakukan proses memberi pupuk pada tanah yang akan digarap. Agar gembur, subur, dan menjadi tempat tumbuhnya tanaman pertanian yang mentes dan migunani.

Siang itu, Kang Suto, dibantu Kang Dhadap, Waru, Lek Guno dan lainnya bersiap ngrabuk. Begitulah, mereka guyub rukun, sambatan, mengerjakan, ngentengke sambate liyan secara bersama-sama.

Rabuk yang digunakan berasal dari kotoran sapi atau kambing peliharaan. Alami. Kotoran ini sebelumnya disingkirkan ke jugangan, ditunggu berapa lama agar kering. Setelah kering, kemudian dimasukkan dalam bagor atau goni. Setelah penuh, bagor atau goni ditali agar rabuk tidak tumpah. Proses berikutnya yaitu membawanya ke sawah atau ladang.

Proses membawa rabuk ke ladang inilah, yang dulu menjadi kegiatan favorit anak-anak. Pada saat itulah, anak-anak bisa numpak mobil bareng-bareng ke ladang. Mobilnya khusus, mobil bak terbuka yang biasanya dipakai mengangkut barang dagangan pasar. Sambil membawa sangu: teh panas, nasi thiwul, puli goreng, dan sayur lombok ijo.

Jaman sekarang memang hanya sederhana: numpak mobil, yang bisa dilakukan setiap hari. Namun dahulu, numpak mobil merupakan hal istimewa dan mahal. Tidak setiap hari, minggu, atau bulan. Kadang kala, ada yang rela mbolos sekolah untuk membantu orang tuanya ngrabuk ke ladang. Bukan hanya membantunya yang penting, namun,  numpak mobilnya itulah yang penting bagi anak-anak jaman itu. Numpak mobil, menyusuri jalan pedesaan, serasa menjadi gagah. Apalagi dengan memakai pelindung ikat kepala, menyapa teman atau siapapun yang dikenal di sepanjang jalan.

"Ngrabok nyangndi, Kang?", tanya Paidin. "Nyang Kretek, Lek", Paidin terus menjawab pertanyaan yang hampir sama diserukan di sepanjang jalan.

Sesampaikan di ladang, bungkusan rabuk diturunkan dari mobil. Satu per satu disunggi ke ladang, yang biasanya berjarak beberapa ratus meter dari berhentinya mobil. Rabuk ditumpahkan di ladang, kemudian diratakan.



Teriring doa, rabuk disebarkan. Semoga rabuk hasil dari hewan ternak ini menyatu dengan tanah,  dan menjadi tempat tanaman hidup subur dan ngrejekeni.


Note:
foto diambil dari FB https://www.facebook.com/dinmuaz.peghok, 1 Oktober 2018


Share:

Bu Mujilah: peletak dasar pendidikan 24 generasi di Ngliparkidul

Masa kecil tidak akan terulang. Jelas. Karena usia semakin tua, bergerak ke depan. Bukan semakin muda. Jatah semakin banyak dipakai, dan sisanya terus berkurang. Namun, apa yang kita alami di masa kecil tentunya akan ngefek pada kehidupan kita ketika dewasa.

Ada kenangan. Apapun bentuknya.

###

Begitu pula masa kecil kami di Ngliparkidul. Kenangan masa kecil, kadang menjadi target nostalgia ketika pulang kampung. Dari yang sifatnya hobi: mancing, bal-balan, dolanan; sampai pada hal yang sifatnya tanggungjawab: ngarit, panenan, gotong royong, atau sambatan.

Selain itu, ingatan kami juga akan memutar ulang tentang orang-orang yang berjasa pada masa kecil.

Memang tak bisa disejajarkan dengan Ibu, atau Bapak kami. Namun percayalah, jika tidak ada beliau, maka kami tidak memiliki sandaran untuk belajar banyak hal. Sebagai warga kampung, kami tidak bisa belajar semua hal dari orang tua. Mereka memiliki keterbatasan, sebagaimana orang kampung pada umumnya.  Ada hal-hal sesuai perkembangan jaman, yang kami perlu diberi pelajaran dari ahlinya.

Beliau dengan sabar menuntun kami mengerti lingkungan. Mengerti apa itu daun, pohon, buah. Atau mengajarkan kearifan melalui lagu-lagu dolanan. Memahami keagungan Tuhan melalui Pelangi-Pelangi. Menggantungkan cita-cita melalui lagu Bintang Kecil. Mengajari bertafakur melalui doa-doa. Mendidik hormat menghormati melalui jabat tangan, atau bicara kromo pada orang tua. Banyak lagi. Tak terhitung.

Bahkan mengajari kami cara cebok setelah buang air besar. Memakai kaus kaki dan sepatu. Mengajarkan cara makan menggunakan sendok, atau yang sepele: mengupas jeruk, misalnya. Dia pula yang memeluk kami ketika kami menangis keras karena marahan dengan teman. Atau menemani kami jika jemputan belum datang, bahkan bersedia mengantarkan kami pulang. 

Beliau tidak membeda-bedakan kami.

###

lokasi pertama TK di balai Dusun
Namanya Bu Mujilah. Guru TK yang mengabdi di kampung Ngliparkidul sejak 1986. Rumahnya berjarak 9 kilometer, di daerah Piyaman kecamatan Wonosari. Sehari-hari rute itu ditempuh dengan kendaraan umum. Bahkan, konon pada awal pengabdian, ditempuh dengan naik sepeda. Pagi hari harus segera berangkat.

Sementara kami, anak-anak kampung harus segera mandi, melawan dingin yang menusuk tulang. Kiklik’en. Mandi dikali, atau mandi di kolah belakang rumah yang minim pengaman. Intipan atau godaan simbah yang berangkat ke tegal, kerap kami dapatkan. Tapi menyenangkan. Air untuk mandi diambilkan Bapak atau Ibu kami dari sumber air di sungai. Menggunakan pikulan, klenteng, atau ember, ditempuh dengan jalan kaki.

Pakaian kami kenakan masih melalui bantuan Ibu atau Bapak. Baju dan celana. Tidak, atau tepatnya belum membudaya celana dalam bagi anak laki-laki. Mungkin karena itulah, insiden resleting kerap terjadi. Celana dalam bagi anak laki dikenakan setelah disunat. Sepatu pun hanya bagi yang punya. Jika tak ada, nyeker atau sendal jepit sudah sah.

Setibanya di sekolah, baik diantar maupun bersama teman-teman, kami menunggu senyum bu Mujilah muncul di ujung jalan. Jika telah tampak, kami berebut menjemput dan menyalami. Satu-satu, dengan sabar, semua anak didiknya akan kebagian sentuhan lembut  tangannya. Kamipun berjalan bersama menuju sekolah. Betapa menyenangkan, bukan?

TK itu bernama TK ABA (Aisyiah Bustanul Athfal) Nglipar III. Dinamakan demikian, karena yayasan payungnya ketika berdiri adalah Aisyiah. Sayap organisasi Muhammadiyah. Romawi III menunjukkan bahwa sekolah ini urut nomor 3 dalam pendiriannya di wilayah Desa Nglipar.

lokasi kedua di masjid
TK ABA Nglipar III itu beliau dirikan dengan penuh perjuangan, ditahun 1986. “Dulu saya bersama beberapa warga muter, menemui warga lainnya tentang ide ini”, beliau memulai cerita. Beberapa nama yang beliau sebut: Pak Tugimo, Pak Mardi, Pak Sangadi, Pak Sis. Hal ini tentunya tidak menafikkan bantuan pihak lainnya:  penjabat dusun, dan akhirnya dukungan para warga.  TK itu berdiri, menempati ruang tak terpakai di Balai Dusun. Terkadang menggunakan ruang posyandu, “Biyen tak gelarke kloso”. Posyandu itu sekarang masih ada. Memang kecil ukurannya, wajar jika tidak muat menampung anak-anak ketika itu.

Murid awal memang banyak. Hingga ruangan tak mampu menampungnya. Selain di posyandu, TK ABA ini juga pernah dititipkan di Masjid Nurul Iman lama. Di serambi belakang dipisahkan tembok, kemudian disekat. Perpindahan sementara ini karena balai dusun direnovasi. Setelah selesai renovasi, TK kembali ke Balai Dusun.

“Opo ya selamanya akan nebeng di Balai Dusun terus?”, demikian disampaikan Bu Mujilah pada tokoh masyarakat. Akhirnya proposal dibuat. Sepetak tanah wakaf warga menjadi target tempat dibangunnya TK. Setelah melalui perjuangan, TK mendapat bantuan. Berdirilah gedung TK yang saat ini ditempati.

Pada gedung yang baru ini, fasilitas sudah lebih lengkap. Ada ruang guru, kamar mandi, toilet, bahkan tempat bermain dengan beberapa wahana permainannya. 

###

lokasi sekarang, gedung sendiri
Selama mengajar, sejak 1986, Bu Mujilah ditemani oleh beberapa orang. Ada yang  membantu mengajar (orang desa mengenalnya dengan istilah: berjuang), sekedar menggantikan jika Bu Mujilah berhalangan, serta guru-guru generasi berikutnya.  Ada yang kemudian pindah, atau mengundurkan diri. Ada Bu Endang, (alm) Bu Tamiyem, Bu Tarmi, Bu Barni, Bu Sagiyem, dan Bu Wati. Tiga nama terakhir inilah yang saat ini melanjutkan mengelola TK. 

Bu Mujilah pensiun tahun 2010, setelah 24 tahun mengajar. Artinya ada 24 generasi yang lulus melalui polesan Beliau. Saat ini, dalam masa pensiun, Beliau bisa tersenyum bangga. Telah ada yang meneruskan apa yang sudah dirintisnya. Di sisi lain, anak-anak didiknya juga sudah mandiri, menempuh jalannya masing-masing.

Bu Mujilah bukan hanya berkesan untuk kami, mantan anak didiknya. Namun juga bagi warga Ngliparkidul. Beliau sudah dianggap seperti halnya warga dusun. Hajatan, kesripahan, atau apapun, Beliau akan hadir di tengah warga. Bagi Beliau, guru bukan hanya di ruang kelas. Namun apa yang dilakukannya, semata-mata untuk mendidik muridnya, bagaimana sebaiknya berinteraksi di masyarakat. Mengajar di TK ini, memang akan berbeda dengan mengajar di sekolah kota. Di TK ini guru hadir tidak hanya di ruang kelas. Tapi hadir di masyarakat. 

Masyarakat juga hadir di sekolah. Mereka ikut merawat, bukan hanya merawat fisik saja, namun juga mewarat keberlangsungan. Merawat budaya, sosial. Bagi masyarakat, merawat sekolah TK juga berarti merawat pendidikan untuk anak cucunya.

“Pas perpisahan, ya mbrebes, Mas. Ya piye ya, wis kaya keluarga dewe”. Beliau bercerita, bagaimana warga melepas “pensiun” Ibu dengan kesedihan, namun juga kebanggaan. Tentunya warga sangat kehilangan, orang yang puluhan tahun ikut mendidik anak-anak mereka telah memasuki masa pensiun.

“Kabeh sejarah TK, guru sik pernah ngajar, trus daftar siswa, lengkap tak tinggalke neng kantor TK”. Demikianlah, seolah beliau ingin mengatakan bahwa sejarah TK harus tetap dijaga dan dilanjutkan. 

Sekarang, mantan anak-anak didiknya, guru yang mengajar, warga dusun, yang harus meneruskan apa yang sudah dipancangkan tahun 1986 itu.

“Salam kangge Ibu, Mas”, komentar Sudaryanto, alumni tahun 1988/89. “Wah kelingan jaman mbolos sekolah”, sahut rekan seangkatan Sudar. 


Share:

Panen kacang menjelang kemarau

Kemarau menyapa. Tanah yang sebelumnya gembur, menjadi keras. Nelo. Hujan yang dinantikan tak kunjung datang. Padahal, di tegalan masih terhampar kacang yang belum dibedholi. Esok hari, kacang itu diharapkan bisa ditukar kiloan dengan selembar uang. Untuk sangu anak atau cucu berangkat sekolah.

Cancut taliwondo. Harus segera dipanen. Apapun risikonya...

Panas, terik matahari tak peduli. Dengan kudungan kain kusam, atau caping jowo mereka berjalan ke tegalan. Ada pula yang naik Onda modifikasi. Maklum, jauh jarak menuju tegalan itu. Apalagi jika pulangnya harus membawa sebongkok panenan kacang. Tentu berat. Onda sangat membantu mereka. Terkadang si suami naik Onda bersama sebongkok kacang, sementara si istri jalan kaki.

Demikianlah, tidak ada iri. Tidak ada kepenak dan ora kepenak. Semua ada porsinya masing-masing.

Begitulah keseharian warga Ngliparkidul yang tetap setia dengan tanah dan profesinya. Setia dengan siti, yang mewadahi tumbuhan untuk tumbuh dan menjadi lantaran kehidupan mereka, turun temurun.

###

Pagi itu, pada kesempatan pulang kampung, saya ingin merasakan (atau ekstrimnya membuktikan) kondisi di atas. Dengan sebuah gathul di tangan, serta alas kaki sendal ban, saya berjalan menyusuri jalan menuju tegalan. Jalan yang dulu kerap saya lalui. Namun pagi itu saya kaget. Jalan itu mati. Tak banyak orang melewati, sehingga semak belukar tumbuh mengganggu. Tilas tapak kaki pun hilang.

Sejak jalan ke tegalan dan hutan diperlebar dan perhalus, maka banyak orang menggunakan motor, tak lagi jalan kaki. Inilah yang menyebabkan matinya jalan setapak. Bahkan, ada sebuah jalan kebo alias lurung yang pada jaman kuno digunakan sebagai jalan ketika nuntun kebo, mati. Jalan itu berubah menjadi semak.

Tak sampai sepuluh menit, sampailah saya di tegalan. Jaraknya sekitar 300 meter dari rumah. Setelah mengingat dan memastikan tegalan warisan simbah, saya masuk. Kacang dan jagung tumbuh di tegalan.

Tampak tanah sudah nelo dan keras. Saya berusaha mencabut satu pohon kacang. Gagal. Kerasnya tanah, menahan biji kacang yang ada dalam tanah. Saya coba gunakan gathul.  Jika tak hati-hati,  justru biji kacang akan kena gathul, dan tertinggal atau pecah. Cuwil.

Ketiwasan. Gathul yang saya pakai lepas. Lecek. "Wah, gathule lecek'an kui, Mas". Sapa Lek Sumar yang sedang nyapu jalan. "Nggih, Lek".  Sayapun pulang. Mau ambil bendho atau gathul cadangan. Serta  bagor untuk wadah kacang, terutama yang sudah pithil.

Pagi itu, tak banyak yang saya peroleh. Tapi saya akan kembali lagi. Membawa bendho dan bagor.

###

Bendo dan bagor sudah saya bawa. Sesampainya di tegalan, kacang yang berhasil saya bedhol tadi saya wadahi. Kemudian saya lanjutkan mbedol kacang dibantu sebilah bendho. Lumayan, dapat tambahan. Meski akhirnya bendho itupun lecek juga. Ucul.

Saya menyerah. Saya putuskan untuk pulang. Sedapatnya.

"Nganggo banyu mas", demikian kata simbok tani lainnya. Memang demikian. Kadang, untuk mbedhol kacang di musim kemarau para petani harus menyewa disel, untuk nyedot air dari sungai. Air tersebut untuk membasahi tanah, agar kacang mudah dibedhol. Atau mereka berkorban nyelang air PDAM. Nyelang atau nyewa disel, tentunya butuh biaya.

Biaya ini akan mengurangi keuntungan mereka dalam memanen kacang.

Namun, itu tak jadi masalah untuk mereka. Kacang yang sudah tertanam, awoh harus diambil. Meski harus tuno. Jika tidak diambil, khawatir memolo. Kacang itu rejeki, nguripi. Menyia-nyiakannya tidaklah elok.

###

Sesampainya di rumah, ternyata ada tetangga berbaik hati. Mbah Suci, seorang simbah yang hidup sendirian di rumahnya, tepat di sebelah barat rumah kami. Seratus meteran jaraknya. Dia membantu mitili kacang tersebut satu persatu, sampai selesai.

###

Bapak datang dari masjid. Melihat saya hanya dapat sedikit, dia bertanya, "kok gur semono?". "Atos, Pak. Mpun sak ontene".

Saya pun istirahat, tidur. Bangun tidur, langsung mandi. Selesai mandi di utara rumah, saya lihat Bapak nyunggi kacang, plus nyangking ember, lengkap dengan gayungnya. Ternyata Bapak ke tegalan. Medhol kacang untuk oleh-oleh saya, kembali ke Jogja.

"Mangkeh kulo pithilane, Pak". Saya tak mau merepotkan Bapak lagi dengan kacang-kacang ini.

Sore itu, seplastik kacang mentah saya masukkan di jok motor. Menuju Jogja. Kacang aseli Gunungkidul. Mentes tur akeh isine.



Share:

Gubug bahagia: yakin! di desa tetap ada harapan

ditulis oleh: Purwoko
Gubug ini terletak di tepi jalan, di tengah hutan, sebelah selatan kampung saya. Di hutan Gelaran. Foto saya ambil pada sore hari, Ngad Pon tanggal 27 Ruwah 1951 Dal, dalam perjalanan ke kampung Ngregis; atau bertepatan dengan Minggu 13 Mei 2018 ketika saya pulang kampung, sowan Bapak.

Ini bukan gubug derita. Ini gubug kebahagiaan.

###

Kaki-kaki kokoh itu berayun beriringan. Tampak wajah tua mereka dimakan usia. Mbah Kromo, Mbah Simpen, Mbah Mangun, Mbah Jo, Mbah Par, Mbah Siyam, dan para simbah lainnya. Para simbah datang ke tengah hutan berjalan kaki. Jika berangkat siang, dan cucunya sudah pulang sekolah, diminta mengantar pakai onda. Ya. Onda, sebutan untuk sepeda motor, apapun mereknya. Di punggung para simbah putri terdapat buntelan. Isinya air minum yang diwadahi botol Akua. Serta beberapa potong pisang atau puli untuk penangkal lapar.
Mereka menuju tujuannya masing-masing. Tidak akan tertukar. Tujuan pertamanya: gubug. Di sinilah bekal mereka letakkan. Di sini pula senjata mereka disimpan. Gathul, pacul, arit dan semacamnya.
Di samping gubug ada sepetak tanah negara yang dikelola warga. Ditanami berbagai palawija: kacang, jagung, telo, dan jika ada yang sangat subur dan cukup air, ditanami padi. Oia, tak lupa suket kolonjono, untuk pakan harta karun mereka: ternak sapi atau wedhus.
Para simbah itu datang untuk menengok tanamannya, sekedar matun, atau babat suket kolonjono.
Gubug ini digunakan untuk berteguh dari panas, atau guyuran hujan. Untuk istirahat siang selepas matun, sambil membuka bekal. Atau untuk menikmati makan siang kiriman keluarga. Nasi thiwul, dan jika masih ada stok akan dicampur nasi putih; sayur lombok ijo, tempe goreng, dan sejumput gudangan
Anda tahu gudangan?. Gudangan merupakan jenis lauk. Terdiri dari berbagai sayuran yang dicampur dengan sambel kambil. Tentunya, sayuran ini tinggal memetik di samping rumah. Kambil atau kelapa tinggal menek saja dari pohon di depan rumah.

Jika tak membawa bekal, cukuplah mereka mbedol satu pohon ketela yang dirasa sudah ndaging. Kemudian mengumpulkan beberapa ranting kayu,  dibakar. Ketela yang sudah dibedol tadi, dimasukkan ditengah api. Diblusukke. Setelah ditunggu beberapa waktu, pasti matang.

Jika ada sesama, maka tak segan mereka memanggil, "ngunjuk riyin, Kang". Atau, "monggo dhahar, Yu". Dan seterusnya. Mereka rela berbagi bekal. Tak akan rugi. Justru mata berbinar jika bekal yang dibawa ludes. Itu berarti ada berkah dikemudian hari.
Bagi para simbah Kakung, biasanya istirahat itu dilengkapi dengan sebatang udud lintingan. Paduan dari mbako yang dibungkus segaret widjoseno, klembak, wur, cengkeh. Kadang ditambah sedikit menyan ududan. Bagi yang ada tabungan lebih, udud lintingan ini tergantikan rokok pabrikan. Bagi simbah putri, selembar sirih membungkus enjet, serta sebundel mbako susuran menjadi pelengkap. Sesekali membuang ludah merah hasil proses "nginang'.

Sambil istirahat, mereka membincangkan macam perkara. Dari tanaman, atau anak cucu yang sudah menginjak dewasa. Atau tentang kesendirian mereka.

###

Sepetak tanah negara dan gubug ini merupakan satu kesatuan. Dia tidak bisa dipisahkan. Padanya ada pula sepetak harapan untuk makan esok hari.
Mereka tetap semangat, meski ada pertanyaan mendasar pada diri mereka: siapa yang hendak meneruskan?

###

Ah, itu pertanyaan yang sangat mendalam. Jangan khawatir, Mbah. Akan selalu ada yang meneruskan. Bukan karena mereka menyerah pada jaman, namun karena mereka yakin di desa tetap ada harapan.


Bersambung...

Sambisari, 14 Mei 2018
selepas subuh, pagi hari


Share:

Sambatan: ritual yang tidak boleh tergerus jaman edan

Ngliparkidul -  Sambat, bisa diartikan sebagai mengadu, karena perlu bantuan. Biasanya karena kekurangan tenaga, untuk mengerjakan sesuatu. Misalnya membangun rumah, panen, atau ketika menanami sawah ladang.

Sambatan, sebagai respon orang yang sambat, merupakan prosesi membantu dengan sukarela, tanpa upah. Biasanya sekadar dihargai dengan sajian makan siang, minum dan camilan + ucapan terimakasih. Ada juga yang ditambah beberapa batang rokok.

Orang yang sambatan tidak merasa rugi membantu, karena mereka merasa suatu saat akan ada pada posisi butuh bantuan. Mereka sedang menanam jasa.

Ada beberapa istilah yang mirip dengan sambatan: kerja bhakti, atau gugur gunung. Mirip, ya, memang hanya mirip saja, karena sebenarnya berbeda. Kerja bhakti lebih condong ke gugur gunung. Mereka mengerjakan sesuatu yang sifatnya untuk kepentingan umum. Sementara sambatan, obyek yang digarap merupakan kepentingan/kebutuhan pribadi orang per orang.

Tradisi sambatan ini telah bertahun-tahun ada di kampung kami, Ngliparkidul. Pada tulisan ini, kami sertakan beberapa gambar kegiatan sambatan dalam rangka panenan jagung, ketela, panen padi, memperbaiki rumah.

###

Sebelum proses sambatan, akan ada jagongan pembuka, ditemani teh panas dan pacitan. Orang yang datang, meskipun di rumah sudah minum atau sarapan, tetap harus ikut menikmati hidangan  dahulu. Hal ini merupakan penghormatan dari si empunya rumah pada orang yang akan membantunya. Di sisi lain, ini juga wujud syukur dan penghargaan atas hidangan yang sudah disediakan si pemilik gawe.

Tak ada standard prosedur operasional yang detail pada kegiatan sambatan. Orang-orang yang ikut sambatan akan berbagi tugas meskipun tanpa komando yang detail. Mereka kreatif mencari pekerjaan masing-masing, yang bisa dilakukan. Jika ada yang perlu dirembug, mereka akan rembug bareng.


###

Berikut ini beberapa teknik sambatan (membantu) terkait panenan dan perbaikan rumah.

Panen jagung, ketela pohon dan padi
Hasil akhir dari panenan jagung yaitu: jagung terpisah dari batangnya, sehingga siap untuk dimasak atau dijual, atau disimpan sebagai lumbung cadangan makanan.

Untuk proses memanen jagung, pemangkasan jagung dilakukan dengan cara memotong batang jagung, persis di atas batang yang ada jagungnya. Bagian atas dikumpulkan sendiri untuk pakan ternak. Sementara yang masih ada jagungnya dipangkas pada bagian bawah kemudian dibongkok (diikat). Setelah diikat, akan ada yang bertugas mengangkat dan membawanya (disunggi) ke pingir jalan besar. Dari jalan tersebut, nanti akan dilangsir oleh kendaraan kol (kendaraan angkut terbuka), dibawa pulang.

Sampai di rumah, jagung yang masih nempel di batang harus dipisahkan (pemisahan ini juga bisa dilakukan langsung ketika masih di tegalan). Jika diperlukan, jagung dikupas, dipotekki, lalu dijemur. Jika akan disimpan, maka biasanya dicantelke di reng atau usuk rumah.

###

Bagaimana dengan memanen padi?

Hasil akhir panen padi adalah terpisahnya padi dari batangnya, untuk kemudian disimpan atau dijual.
Cara memanen padi, berbeda dengan memanen jagung. Untuk memanen padi yang batangnya tinggi, biasanya dipotong batang yang ada padinya dahulu menggunakan ani-ani. Kemudian sisa batangnya dibabat tersendiri. Untuk padi yang berbatang pendek, biasanya langsung dibabat di bagian pok (pangkal bawah), kemudian diikat (dibongkok). Sesampainya di rumah, padi tersebut dirontokkan dengan alat maupun secara manual.

Panenan padi agak unik, karena biasanya akan ditemani dengan belalang yang beterbangan di seputar tanaman padi. Ada walang canthung, walang sangit, lembing dan lainnya. Sembari memanen padi, juga sambil menangkap hewan-hewan tadi, untuk dimasak sebagai lauk.

###




Panenan berikutnya yaitu ketela pohon. Perlu tenaga ekstra untuk ikut andil dalam panen ketela, atau istilah jawanya sering disebut "mbedol telo". Mbedol berarti mencabut, mencabut ketela dari tanah. Ketika tanah kering dan keras, maka pencabutan ketelah akan sangat sulit, sehingga perlu tenaga ekstra. Jika tidak kuat, biasanya akan dilakukan berdua, atau disebut dengan koron. Kecuali pada jenis tanah tertentu, yang meski keras namun ternyata gembur.

Jika kesulitan dicabut, akan digali dahulu sekitarnya menggunakan pacul atau gancu. Terkadang, jika terpaksa diguyur air lebih dahulu.

Sebelum dicabut, daun ketela diambil dahulu, disatukan dan diikat terpisah. Daun ini digunakan sebagai pakan ternak. Sementara ketela hasil panen, akan dipisahkan dari batangnya, kemudian dimasukkan bagor, atau langsung diangkut  di atas mobil bak terbuka menuju rumah si pemilik.

###

Membangun/memperbaiki rumah
Jenis sambatan lainnya yaitu membangun atau perbaikan rumah. Biasanya si tuan rumah akan jadi koordinator, meskipun tidak secara tertulis. Segala yang terkait akan dikonsultasikan pada si empunya rumah. Ukuran usuk, reng, dan lainnya. Hal ini wajar dilakukan, karena si empunya rumah lah yang akan menggunakan rumah tersebut.



###


Di sela-sela sambatan, ada masa jeda, masa istirahat yang digunakan untuk jagongan, minum teh anget sambil menikmati bekal pacitan yang dibawa dari rumah. Untuk sambatan panenen yang lokasinya jauh dari rumah si empunya gawe, kadang, minuman dan pacitan ini disusulkan oleh si empunya rumah. Sementara untuk sambatan perbaikan rumah, tentu saja minuman dan pacitan sudah disediakan di lokasi.


Pada saat istirahat inilah, ada proses jagongan ngalor ngidul tentang berbagai hal, baik yang terkait dengan panenan, atau dinamika kehidupan pelaku sambatan.

Sambatan identik dengan jangan (sayur) lombok ijo, nasi putih + lalapan. Jika sambatan panen, maka makanan ini akan dinikmati sambil berteduh di bawah gubug, pohon kluwih, jati alas, atau pohon lainnya yang rindang.

###

Sambatan, mengajarkan pada kita semua tentang arti persaudaraan. Pemberian tenaga, tidak selalu bisa diukur dan dihargai dengan uang, namun bisa lebih luas dari itu. Balasan atas tenaga yang diberikan bisa lebih tinggi derajadnya dari uang.

Sambatan mengajarkan tentang kesederhanaan, tepo seliro, empati pada kesulitan yang dialami orang lain. Namun, sambatan juga mengajarkan tentang penghargaan pada si pemberi bantuan, apapun dan bagaimanapun bentuk bantuannya. Tidak ada sambatan profesional atau amatir. Semua pelaku sambatan memainkan perannya, sesuai kemampuannya, dan semuanya dihargai, diregani.

--------------------

Sumber gambar: grup whatsapp warga Ngliparkidul + FB Kang Maryoto

Share:

Menyambut tahun baru 2018 di Ngliparkidul: konsistensi pada kesenian tradisional

gamelan dan personil sudah siap. Sumber foto: WAG Ngliparkidul

Tahun baru 2018, Dusun Ngliparkidul kembali menghadirkan kesenian tradisional. Akhir Desember 2017, hari Sabtu siang, dimeriahkan oleh kesenian kuda lumping Turonggo Mudo. Sedangkan malam harinya pertunjukan Wayang Cakruk.  



Spanduk identitas. Sumber foto: WAG Ngliparkidul


Gotong royong, lur. Sumber foto: WAG Ngliparkidul

Siap? Lanjut. Sumber foto: WAG Ngliparkidul

Sumber foto: https://www.instagram.com/p/BdWcdTqljh3/
Dalang dalam dunia pewayangan diartikan sebagai seseorang yang mempunyai keahlian khusus memainkan boneka wayang (ndalang) -  (Janu Triawan).

Sumber foto: https://www.instagram.com/p/BdWaP9Yl1vV/
Pesindhén, atau sindhén (dari Bahasa Jawa) adalah sebutan bagi wanita yang bernyanyi mengiringi orkestra gamelan. Pesindén yang baik harus mempunyai kemampuan komunikasi yang luas dan keahlian vokal yang baik serta kemampuan untuk menyanyikan tembang - (Janu Triawan).




Video Youtube, video oleh: Mita Mulyaningsuci



Share:

Trending

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts