Blog ini, didedikasikan untuk merawat sejarah Ngliparkidul, namun dengan tetap memandang ke depan. Agar generasi Ngliparkidul memiliki masa depan yang lebih cerah dan terarah, namun tak tercerabut dari sejarah yang telah membentuknya.

ccc

Gubug bahagia: yakin! di desa tetap ada harapan

ditulis oleh: Purwoko
Gubug ini terletak di tepi jalan, di tengah hutan, sebelah selatan kampung saya. Di hutan Gelaran. Foto saya ambil pada sore hari, Ngad Pon tanggal 27 Ruwah 1951 Dal, dalam perjalanan ke kampung Ngregis; atau bertepatan dengan Minggu 13 Mei 2018 ketika saya pulang kampung, sowan Bapak.

Ini bukan gubug derita. Ini gubug kebahagiaan.

###

Kaki-kaki kokoh itu berayun beriringan. Tampak wajah tua mereka dimakan usia. Mbah Kromo, Mbah Simpen, Mbah Mangun, Mbah Jo, Mbah Par, Mbah Siyam, dan para simbah lainnya. Para simbah datang ke tengah hutan berjalan kaki. Jika berangkat siang, dan cucunya sudah pulang sekolah, diminta mengantar pakai onda. Ya. Onda, sebutan untuk sepeda motor, apapun mereknya. Di punggung para simbah putri terdapat buntelan. Isinya air minum yang diwadahi botol Akua. Serta beberapa potong pisang atau puli untuk penangkal lapar.
Mereka menuju tujuannya masing-masing. Tidak akan tertukar. Tujuan pertamanya: gubug. Di sinilah bekal mereka letakkan. Di sini pula senjata mereka disimpan. Gathul, pacul, arit dan semacamnya.
Di samping gubug ada sepetak tanah negara yang dikelola warga. Ditanami berbagai palawija: kacang, jagung, telo, dan jika ada yang sangat subur dan cukup air, ditanami padi. Oia, tak lupa suket kolonjono, untuk pakan harta karun mereka: ternak sapi atau wedhus.
Para simbah itu datang untuk menengok tanamannya, sekedar matun, atau babat suket kolonjono.
Gubug ini digunakan untuk berteguh dari panas, atau guyuran hujan. Untuk istirahat siang selepas matun, sambil membuka bekal. Atau untuk menikmati makan siang kiriman keluarga. Nasi thiwul, dan jika masih ada stok akan dicampur nasi putih; sayur lombok ijo, tempe goreng, dan sejumput gudangan
Anda tahu gudangan?. Gudangan merupakan jenis lauk. Terdiri dari berbagai sayuran yang dicampur dengan sambel kambil. Tentunya, sayuran ini tinggal memetik di samping rumah. Kambil atau kelapa tinggal menek saja dari pohon di depan rumah.

Jika tak membawa bekal, cukuplah mereka mbedol satu pohon ketela yang dirasa sudah ndaging. Kemudian mengumpulkan beberapa ranting kayu,  dibakar. Ketela yang sudah dibedol tadi, dimasukkan ditengah api. Diblusukke. Setelah ditunggu beberapa waktu, pasti matang.

Jika ada sesama, maka tak segan mereka memanggil, "ngunjuk riyin, Kang". Atau, "monggo dhahar, Yu". Dan seterusnya. Mereka rela berbagi bekal. Tak akan rugi. Justru mata berbinar jika bekal yang dibawa ludes. Itu berarti ada berkah dikemudian hari.
Bagi para simbah Kakung, biasanya istirahat itu dilengkapi dengan sebatang udud lintingan. Paduan dari mbako yang dibungkus segaret widjoseno, klembak, wur, cengkeh. Kadang ditambah sedikit menyan ududan. Bagi yang ada tabungan lebih, udud lintingan ini tergantikan rokok pabrikan. Bagi simbah putri, selembar sirih membungkus enjet, serta sebundel mbako susuran menjadi pelengkap. Sesekali membuang ludah merah hasil proses "nginang'.

Sambil istirahat, mereka membincangkan macam perkara. Dari tanaman, atau anak cucu yang sudah menginjak dewasa. Atau tentang kesendirian mereka.

###

Sepetak tanah negara dan gubug ini merupakan satu kesatuan. Dia tidak bisa dipisahkan. Padanya ada pula sepetak harapan untuk makan esok hari.
Mereka tetap semangat, meski ada pertanyaan mendasar pada diri mereka: siapa yang hendak meneruskan?

###

Ah, itu pertanyaan yang sangat mendalam. Jangan khawatir, Mbah. Akan selalu ada yang meneruskan. Bukan karena mereka menyerah pada jaman, namun karena mereka yakin di desa tetap ada harapan.


Bersambung...

Sambisari, 14 Mei 2018
selepas subuh, pagi hari


Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trending

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts