Blog ini, didedikasikan untuk merawat sejarah Ngliparkidul, namun dengan tetap memandang ke depan. Agar generasi Ngliparkidul memiliki masa depan yang lebih cerah dan terarah, namun tak tercerabut dari sejarah yang telah membentuknya.

ccc

Panen kacang menjelang kemarau

Kemarau menyapa. Tanah yang sebelumnya gembur, menjadi keras. Nelo. Hujan yang dinantikan tak kunjung datang. Padahal, di tegalan masih terhampar kacang yang belum dibedholi. Esok hari, kacang itu diharapkan bisa ditukar kiloan dengan selembar uang. Untuk sangu anak atau cucu berangkat sekolah.

Cancut taliwondo. Harus segera dipanen. Apapun risikonya...

Panas, terik matahari tak peduli. Dengan kudungan kain kusam, atau caping jowo mereka berjalan ke tegalan. Ada pula yang naik Onda modifikasi. Maklum, jauh jarak menuju tegalan itu. Apalagi jika pulangnya harus membawa sebongkok panenan kacang. Tentu berat. Onda sangat membantu mereka. Terkadang si suami naik Onda bersama sebongkok kacang, sementara si istri jalan kaki.

Demikianlah, tidak ada iri. Tidak ada kepenak dan ora kepenak. Semua ada porsinya masing-masing.

Begitulah keseharian warga Ngliparkidul yang tetap setia dengan tanah dan profesinya. Setia dengan siti, yang mewadahi tumbuhan untuk tumbuh dan menjadi lantaran kehidupan mereka, turun temurun.

###

Pagi itu, pada kesempatan pulang kampung, saya ingin merasakan (atau ekstrimnya membuktikan) kondisi di atas. Dengan sebuah gathul di tangan, serta alas kaki sendal ban, saya berjalan menyusuri jalan menuju tegalan. Jalan yang dulu kerap saya lalui. Namun pagi itu saya kaget. Jalan itu mati. Tak banyak orang melewati, sehingga semak belukar tumbuh mengganggu. Tilas tapak kaki pun hilang.

Sejak jalan ke tegalan dan hutan diperlebar dan perhalus, maka banyak orang menggunakan motor, tak lagi jalan kaki. Inilah yang menyebabkan matinya jalan setapak. Bahkan, ada sebuah jalan kebo alias lurung yang pada jaman kuno digunakan sebagai jalan ketika nuntun kebo, mati. Jalan itu berubah menjadi semak.

Tak sampai sepuluh menit, sampailah saya di tegalan. Jaraknya sekitar 300 meter dari rumah. Setelah mengingat dan memastikan tegalan warisan simbah, saya masuk. Kacang dan jagung tumbuh di tegalan.

Tampak tanah sudah nelo dan keras. Saya berusaha mencabut satu pohon kacang. Gagal. Kerasnya tanah, menahan biji kacang yang ada dalam tanah. Saya coba gunakan gathul.  Jika tak hati-hati,  justru biji kacang akan kena gathul, dan tertinggal atau pecah. Cuwil.

Ketiwasan. Gathul yang saya pakai lepas. Lecek. "Wah, gathule lecek'an kui, Mas". Sapa Lek Sumar yang sedang nyapu jalan. "Nggih, Lek".  Sayapun pulang. Mau ambil bendho atau gathul cadangan. Serta  bagor untuk wadah kacang, terutama yang sudah pithil.

Pagi itu, tak banyak yang saya peroleh. Tapi saya akan kembali lagi. Membawa bendho dan bagor.

###

Bendo dan bagor sudah saya bawa. Sesampainya di tegalan, kacang yang berhasil saya bedhol tadi saya wadahi. Kemudian saya lanjutkan mbedol kacang dibantu sebilah bendho. Lumayan, dapat tambahan. Meski akhirnya bendho itupun lecek juga. Ucul.

Saya menyerah. Saya putuskan untuk pulang. Sedapatnya.

"Nganggo banyu mas", demikian kata simbok tani lainnya. Memang demikian. Kadang, untuk mbedhol kacang di musim kemarau para petani harus menyewa disel, untuk nyedot air dari sungai. Air tersebut untuk membasahi tanah, agar kacang mudah dibedhol. Atau mereka berkorban nyelang air PDAM. Nyelang atau nyewa disel, tentunya butuh biaya.

Biaya ini akan mengurangi keuntungan mereka dalam memanen kacang.

Namun, itu tak jadi masalah untuk mereka. Kacang yang sudah tertanam, awoh harus diambil. Meski harus tuno. Jika tidak diambil, khawatir memolo. Kacang itu rejeki, nguripi. Menyia-nyiakannya tidaklah elok.

###

Sesampainya di rumah, ternyata ada tetangga berbaik hati. Mbah Suci, seorang simbah yang hidup sendirian di rumahnya, tepat di sebelah barat rumah kami. Seratus meteran jaraknya. Dia membantu mitili kacang tersebut satu persatu, sampai selesai.

###

Bapak datang dari masjid. Melihat saya hanya dapat sedikit, dia bertanya, "kok gur semono?". "Atos, Pak. Mpun sak ontene".

Saya pun istirahat, tidur. Bangun tidur, langsung mandi. Selesai mandi di utara rumah, saya lihat Bapak nyunggi kacang, plus nyangking ember, lengkap dengan gayungnya. Ternyata Bapak ke tegalan. Medhol kacang untuk oleh-oleh saya, kembali ke Jogja.

"Mangkeh kulo pithilane, Pak". Saya tak mau merepotkan Bapak lagi dengan kacang-kacang ini.

Sore itu, seplastik kacang mentah saya masukkan di jok motor. Menuju Jogja. Kacang aseli Gunungkidul. Mentes tur akeh isine.



Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trending

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts