|
ulet jedung dan kepompongnya |
Gunungkidul memang terkenal dengan ulernya. Uler, ulat. Bukan ular. Macam-macam uler yang muncul berdasar musim, menjadi lauk gurih nan ngangeni.
Setelah sebelumnya uler jati, kini, sekarang saat artikel ini ditulis, sedang in alias ngehit uler jedung. Uler jenis ini hidup di daun mahoni. Warnanya hijau, sama seperti warna daun mahoni. Bentuknya besar, sebesar ibu jari orang dewasa. Memiliki semacam antena di sekujur tubuhnya. Jika di pegang, empuk ginuk-ginuk. Terbayang, di dalamnya ndaging dan bergizi kaya protein. #ger
Ketika kecil, Saya hobi ngingu (menernak) uler ini. Caranya sederhana. Cukup dengan perjanjian dengan teman-teman ketika menemukan uler jedung, tidak tertulis. "Ini nggonaku", selesai. Setelah itu, dibiarkan saja sampai ngungkrung.
Mencari uler bisa berkeliling kampung seharian. Kepala mendongak ke atas, mata mendelik ke daun mahoni. Karena warna uler dan daunnya sama, butuh pandangan mata kualitas prima. Kami harus bersyukur, karena inilah, mata kami terlatih.
|
Kepompong yang masih ada dalam rumahnya |
Kalau misal menemukannya jauh dari rumah, makan uler ini diboyong pulang. Di tempatkan di pohon mahoni dekat rumah. Tentu saja agar mudah pengawasannya. Kalau ditemukan sudah sudah tua, muara akhirnya ke wajan. Digoreng. Ya, digoreng untuk lauk. Atau dengan bersabar sedikit bisa dapat ungkrungnya. Ungkrung lebih lezat dari yang masih berbentuk uler. Ungkrung uler jedung bersembunyi dalam bungkusan yang dibuat dengan air liurnya. Rumah ini sangat kuat. Tidak bisa begitu saja disobek. Si kepompong akan tidur di dalamnya. (Purwoko)
|
menyusuri sawah |
|
Perjuangan mencari uler jedung |
|
dipilihi |
|
rumah yang sudah robek |
|
ke wajan juga akhirnya |
Sumber foto: WAG Ngliparkidul dan Dinmas Peghoek
Tidak ada komentar:
Posting Komentar