Blog ini, didedikasikan untuk merawat sejarah Ngliparkidul, namun dengan tetap memandang ke depan. Agar generasi Ngliparkidul memiliki masa depan yang lebih cerah dan terarah, namun tak tercerabut dari sejarah yang telah membentuknya.

ccc

Panen pari, Lur…

Eee bo senenge..
Konco tani, yen nyawang tandurane…
Demikian penggalan kalimat langgam Konco Tani yang sangat populer. Menggambarkan betapa senangnya para petani melihat tanaman di sawah ladang sudah menguning tanda siap dipanen. Petani merupakan soko guru untuk negaranya. Dia menopang kebutuhan makan yang menjadi hajat hidup semua orang. Dia akan disebut, dan menjadi lantaran hidup banyak orang. Doa-doa dipanjatkan menjelang makan, atas rejeki yang timbul dari keringat petani.

Demikian juga para petani di Ngliparkidul. Saat ini sudah musim panen, mbabat pari. Semua petani guyub rukun bebarengan ke sawah ladang. Menuju sawah ladang masing-masing, membawa bekal seperlunya untuk sekedar mengisi perut di siang hari. Tremos air panas, teh tjap padi, gula pasir atau kadang bongkahan gula jawa, beberapa macam jajan pasar. Atau jika tidak sempat ke pasar, ada gethuk atau puli buatan sendiri.

Serta tentu saja sebilah sabit yang sudah diasah tajam untuk mbabat pari, beberapa utas tali dari iratan bambu.

Terkadang mereka ke sawah ladang secara bersama dalam kelompok secara bergantian. Organisasi kelompok tani menjadi wadah para petani saling membantu secara bergiliran.
Hari ini di sawah kang Suto, besok Kang Noyo. Lusa ke Mbok Ginuk dan seterusnya. Rasa gotong royong, dan seprofesi lah yang mendorong mereka melakukan itu. Mereka, adalah penerus profesi tani, profesi tua di jagad ini.

***


Sesampainya di tujuan, semua mencari posisinya masing-masing. Sabit mulai diayunkan, memotong batang padi. Sambil memotong, mereka ngobrol berbagai macam cerita. Tentang apapun. Mulai dari yang serius sampai guyonan garing, namun tetap membuat tertawa. Obrolan politik pun dibawa dengan suasana goyon khas desa.


“Siapapun yang jadi, kita tetap kudu mbabat pari, Kang,” seloroh Suto.
“Yo, jelas. Nek wis dadi opo njuk gelem melu mbabat pari. Paling ya mung mangan parine,” Noyo menimpali.

Udara pagi yang segar, suara burung yang mencicit dan berterbangan menjadi saksi guyub rukun mereka. Tak perlu lama, dengan sekian banyak tenaga, cepat selesai pula proses mbabat pari itu.

Batang padi yang bertumpuk itu kemudian dibongkok, dibawa pulang menggunakan truk bak terbuka. Konco tani ada yang pulang menumpang truk, ada yang naik motor, ada pula yang konsisten berjalan kaki. Memang ada rasa Lelah, pasti ada.


Namun, sesampainya di rumah, rasa Lelah itu terbayarkan dengan bertemu keluarga, wedangan bersama. Atau bertemu hewan peliharaan yang menunggu jatah makan sore dari sawah ladang. Para petani ini terkadang nempil batang padi atau dedaunan di sekitar ladang untuk pakan sapi.


Suara sapi, wedhus, dan senyum petani itu membangkitkan semangat. Mereka begitu tegar dan mantap menatap esok hari, lewat harapan yang tersimpan pada setiap buliran padi, tangkai ketela, atau tersimpan pada setiap suara sapi dan wedhus di sore hari. 

Parine lemu-lemu
polowijo lan uga sak wernane
katon subur, kabeh tuwuh
kang sarwo kinandur

Panyuwunku tinebehno saking sambikolo
sih ing gusti mugi-mugi lestari widodo

sayuk rukun rame-rame
gotong-royong kang dadi semboyane

konco tani saka guru tumerap negarane

Share:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Trending

Diberdayakan oleh Blogger.

Label

Recent Posts